Ketika Ruang Digital Tak Lagi Bebas
Beberapa tahun lalu, kita semua sempat optimis. Internet dianggap penyelamat demokrasi. Semua orang bisa bersuara, menyebarkan info, dan ikut serta dalam percakapan publik. Tapi sekarang? Banyak yang mulai bertanya: “Masihkah ruang digital ini milik kita?”
Di Indonesia, sensor digital semakin terasa nyata. Ada postingan yang hilang, situs yang diblokir tiba-tiba, hingga jurnalis yang dipanggil polisi cuma gara-gara nulis kritik. Semua ini bikin kita berpikir ulang soal arti demokrasi digital.
Sensor Digital: Katanya Demi Keamanan, Tapi…
Pemerintah dan platform digital seperti Facebook atau TikTok sering berdalih bahwa mereka hanya menyensor konten yang berbahaya: hoaks, kekerasan, atau ujaran kebencian. Tapi kenyataannya, yang sering kena justru konten kritis dan suara dari kelompok rentan.
Contoh nyata? Situs berita independen yang tiba-tiba gak bisa diakses. Belum lagi video dokumenter yang mendadak hilang dari YouTube. Alasannya? Tidak jelas. Yang pasti, kebebasan informasi kita makin dikekang.
Demokrasi Digital: Nama Doang, Isinya Kosong?
Demokrasi itu soal akses informasi dan kebebasan berpendapat. Tapi kalau opini publik disaring algoritma, jurnalis dibungkam, dan netizen takut posting karena UU ITE, demokrasi itu hanya tinggal nama.
Ingat, demokrasi digital bukan sekadar bisa buka Instagram atau ngetweet. Tapi soal bisa menyuarakan keresahan tanpa takut dibungkam.
UU ITE: Jadi Pelindung atau Senjata?
Salah satu dalang di balik membungkam informasi di Indonesia ya si UU ITE. Banyak pasalnya bersifat multitafsir. Orang posting kritik kebijakan? Bisa dibilang mencemarkan nama baik. Bikin konten edukatif tapi nyenggol pejabat? Bisa dianggap menyebarkan hoaks.
Data dari SAFEnet menunjukkan ratusan orang terseret hukum karena postingan digital. Padahal, sebagian besar cuma menyampaikan pendapat.
Media Kritis Semakin Terhimpit
Media yang masih berani kritis sekarang ibarat berjalan di atas tali. Mereka harus hati-hati banget milih kata. Banyak dari mereka akhirnya main aman, atau bahkan terpaksa tutup karena tekanan.
Bayangkan, di era digital yang katanya bebas ini, justru sensor digital makin canggih. Dulu sensor dilakukan redaktur atau militer. Sekarang? Dilakukan lewat laporan massal, algoritma, atau bahkan keyword filter otomatis.
Platform Digital Juga Punya Andil
Jangan cuma salahkan negara. Perusahaan teknologi juga ikut andil dalam membentuk “filter informasi”. Konten yang viral belum tentu informatif. Yang informatif justru sering dikubur karena dianggap tidak menguntungkan.
Sistem algoritma yang didesain untuk engagement bikin info penting kalah dengan gosip atau clickbait. Media independen makin sulit bersaing kalau hanya mengandalkan kualitas konten.
Dampak Nyata di Lapangan
Masih ingat kasus pemblokiran situs agraria yang membongkar konflik lahan di Kalimantan? Atau jurnalis lokal yang dilaporkan hanya karena mengkritik proyek pemerintah daerah?
Semua itu nyata dan terjadi di depan mata. Demokrasi digital kita memang sedang dalam masalah. Kalau dibiarkan, kita akan masuk ke era di mana hanya suara mayoritas yang terdengar. Yang minoritas? Tenggelam.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
1. Dorong Revisi UU yang Represif
Kita butuh hukum yang melindungi, bukan menakuti. Revisi UU ITE jadi salah satu tuntutan utama. Pasal multitafsir harus dihapus.
2. Tingkatkan Literasi Digital
Warganet juga harus melek. Kita perlu tahu mana info yang sahih, mana yang propaganda. Literasi digital adalah kunci agar gak gampang dibodohi, tapi juga gak asal sebar info.
3. Dukung Media Independen
Kalau kamu punya waktu dan uang, langganan atau donasi ke media kecil yang masih berani bersuara. Mereka perlu kita supaya tetap hidup.
4. Gunakan Platform Alternatif
Kalau kamu merasa disensor di platform mainstream, coba gunakan media alternatif seperti Mastodon, atau buat blog sendiri. Jangan sampai kita hanya tergantung pada satu pintu informasi.
Penutup: Demokrasi Harus Dijaga, Termasuk Versi Digitalnya
Demokrasi digital bukan hadiah, tapi hasil perjuangan. Jika kita diam ketika sensor digital makin merajalela, jangan heran kalau suatu hari nanti, semua ruang digital jadi sunyi—tanpa kritik, tanpa keberagaman, tanpa demokrasi.
Jangan tunggu sensor datang ke kontenmu. Lawan dari sekarang. Karena sekali kebebasan informasi hilang, kita cuma jadi penonton dalam sistem yang dulu kita sebut “bebas”.
Otak Otak Ikan Tenggiri Sehat: Resep Tradisional Versi Rendah Kalori yang Lezat