Netralitas Politik Indonesia: Warisan yang Dipertahankan
Sejak era Presiden Soekarno, Indonesia dikenal dengan prinsip politik luar negeri bebas aktif—tidak memihak kekuatan besar manapun, tapi tetap berperan aktif dalam perdamaian dunia. Di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, prinsip ini kembali ditegaskan sebagai fondasi utama kebijakan luar negeri Indonesia.
Namun, dunia telah berubah drastis. Ketegangan antara China dan Amerika Serikat, serta dinamika di Laut China Selatan, menempatkan Indonesia di tengah konflik geopolitik yang menuntut sikap lebih tegas.
ASEAN: Kawasan yang Semakin Tidak Stabil
Asia Tenggara bukan lagi sekadar “halaman belakang” yang aman. Dengan meningkatnya ketegangan militer di Laut China Selatan, pelanggaran batas laut oleh kapal asing, serta perebutan pengaruh antara kekuatan besar, kawasan ini menjadi titik rawan baru.
Sebagai negara terbesar dan pemimpin informal di ASEAN, Indonesia diharapkan mampu menjamin keamanan kawasan. Namun, netralitas politik membuat Indonesia sulit untuk bertindak terlalu condong ke salah satu kubu.
Dilema Prabowo: Diplomasi atau Ketegasan?
Di sinilah letak dilema Prabowo. Di satu sisi, ia ingin mempertahankan posisi netral untuk menjaga hubungan baik dengan semua negara, terutama mitra dagang besar seperti China dan Amerika. Di sisi lain, komitmen terhadap keamanan kawasan membuatnya tidak bisa menutup mata saat terjadi provokasi di wilayah ASEAN, terutama jika menyentuh ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) Indonesia.
Beberapa contoh kasus nyata:
- China vs Filipina di Laut Natuna Utara
- Latihan militer AS-Filipina yang meningkatkan tensi
- Ketegangan Myanmar pasca kudeta militer
Prabowo perlu menjawab satu pertanyaan penting: Apakah netral berarti diam?
Peran Indonesia dalam Menengahi Konflik ASEAN
Meski netral, Indonesia bukan pasif. Di era Prabowo, langkah diplomatik Indonesia mulai aktif kembali:
- Mediasi konflik Myanmar melalui jalur diplomasi ASEAN
- Inisiasi dialog Laut China Selatan di forum multilateral
- Penguatan kerja sama pertahanan melalui ASEAN Defence Ministers’ Meeting (ADMM)
Langkah ini menunjukkan bahwa Indonesia mencoba menyeimbangkan posisi: tidak memihak, tapi tetap menjaga ketertiban kawasan.
Tekanan Eksternal dari Mitra Strategis
Kendati Indonesia memilih netral, tekanan dari negara besar tak bisa dihindari. AS menginginkan dukungan terbuka dari negara-negara ASEAN dalam menahan ekspansi China. Sementara China ingin Indonesia tidak ikut dalam aliansi militer regional seperti Quad atau latihan militer bersama dengan pihak barat.
Contoh nyata:
- Latihan bersama Indonesia-AS di Garuda Shield 2025 dikritik oleh Beijing sebagai tindakan tidak netral.
- Sebaliknya, kerja sama militer dengan Rusia diwarnai kekhawatiran dari AS dan NATO.
Indonesia perlu bermain cerdas: menjaga kepentingan nasional tanpa mengorbankan prinsip bebas aktif.
Keamanan Nasional vs Diplomasi Multilateral
Fokus Indonesia bukan hanya kawasan ASEAN, tapi juga keamanan nasional di perbatasan maritim. Beberapa pelanggaran batas oleh kapal asing menunjukkan betapa rentannya wilayah laut Indonesia.
Prabowo merespons ini dengan dua strategi:
- Memperkuat armada TNI AL dan radar pengawasan di Natuna dan Papua.
- Mendorong kode etik maritim ASEAN (COC – Code of Conduct) agar memiliki kekuatan hukum.
Langkah ini mencerminkan upaya menjaga netralitas, tapi dengan pendekatan realistis dan strategis.
Jalan Tengah: “Netral Bukan Berarti Lemah”
Prabowo, dalam pidatonya di Antalya Diplomacy Forum 2025, menyatakan:
“Netral bukan berarti lemah. Netral berarti kita punya kehendak bebas. Kita tidak tunduk pada tekanan geopolitik manapun, dan kita tetap siap membela kepentingan nasional.”
Pernyataan ini menegaskan bahwa Indonesia tetap memegang kendali atas arah kebijakannya. Tidak larut dalam konflik, namun siap bertindak jika kedaulatan terganggu.
Kesimpulan: Menjaga Netralitas di Dunia yang Tidak Lagi Netral
Dalam lanskap geopolitik yang penuh ketegangan, netralitas politik Indonesia adalah strategi, bukan kelemahan. Dilema antara menjaga keamanan kawasan ASEAN dan mempertahankan prinsip netralitas akan terus menguji kepemimpinan Prabowo.
Namun jika Indonesia mampu memainkan peran sebagai penyeimbang kekuatan, menjadi jembatan dialog, dan tetap memperkuat pertahanan nasional tanpa memihak, maka posisi netral akan menjadi senjata diplomasi yang sangat kuat.
Kisah Tragis “Genie Wiley” yang Mengguncang Dunia