Latar Belakang: Gelombang Reformasi dan Ambisi Legislasi
Beberapa bulan terakhir, pembahasan soal RUU reformasi DPR terus memanas. RUU ini digadang-gadang bakal membawa perubahan besar dalam struktur pemerintahan. Namun di balik janji perbaikan, banyak pihak justru melihat adanya celah kekuasaan yang bisa disalahgunakan.
Prosesnya pun dipertanyakan. RUU ini masuk ke meja DPR dengan kecepatan yang tidak biasa. Beberapa pasal disusun tanpa masukan publik yang berarti. Siapa yang mendorongnya? Mengapa terburu-buru? Bagaimana bisa draf penting seperti ini nyaris lolos tanpa diskusi luas di masyarakat?
RUU ini disebut-sebut sebagai bagian dari gelombang reformasi lanjutan. Namun, definisi “reformasi” itu sendiri menjadi kabur. Apakah ini reformasi untuk memperbaiki sistem, atau justru mengatur ulang kekuasaan demi kepentingan politik tertentu?
Isi RUU yang Jadi Sorotan
Dari hasil pembacaan draf sementara, ada sejumlah poin kontroversial:
- Wewenang presiden diperluas, khususnya dalam hal pengambilan kebijakan strategis tanpa persetujuan DPR.
- Fungsi pengawasan legislatif dipersempit, terutama dalam urusan anggaran dan kebijakan luar negeri.
- Ambang batas parlemen diperketat, menyulitkan partai kecil untuk lolos ke Senayan.
Selain itu, RUU juga memuat usulan perubahan terhadap masa jabatan beberapa posisi strategis di lembaga negara. Beberapa pihak khawatir, ini bisa membuka celah perpanjangan kekuasaan secara legal.
Bagi pengamat demokrasi, pasal-pasal seperti ini adalah sinyal bahaya. Apakah kita sedang mengarah pada konsentrasi kekuasaan yang terlalu besar di satu pihak?
Siapa yang Mendukung dan Apa Motivasinya?
Tak mengejutkan jika partai-partai besar di koalisi pemerintah menyambut baik RUU ini. Narasi yang dibawa adalah efisiensi, stabilitas, dan penguatan sistem.
Namun, jika dilihat dari rekam jejak politik mereka, banyak yang mencurigai bahwa dukungan ini bukan semata demi rakyat. Ada kepentingan elektoral, terutama menjelang kontestasi politik berikutnya.
Beberapa anggota parlemen secara terbuka menyebut bahwa RUU ini bisa mengamankan posisi partai besar dan menyulitkan kompetitor baru di panggung politik. Dalam kondisi seperti itu, reformasi hanya menjadi nama lain dari konsolidasi kekuasaan.
Fraksi Penolak: Kritik yang Mengemuka
Dari pihak oposisi dan beberapa anggota independen, kritik tajam terus dilayangkan. Mereka menyoroti potensi kerugian besar bagi demokrasi.
“RUU ini tidak hanya memotong fungsi kontrol parlemen, tapi juga membuka jalan bagi pelemahan institusi,” kata salah satu anggota legislatif yang enggan disebutkan namanya.
Beberapa akademisi juga angkat suara. Mereka melihat bahwa pembahasan RUU ini minim dialog publik, dan terlalu berorientasi pada kekuasaan. Diskusi yang seharusnya terbuka malah berlangsung tertutup, bahkan tanpa dokumentasi yang memadai.
“Legislasi harusnya bukan jalan pintas, apalagi jika menyangkut restrukturisasi pemerintahan,” ujar Prof. Lestari, pengamat hukum tata negara dari Surabaya.
Dampak Potensial Jika Disahkan
Jika RUU reformasi DPR ini lolos, apa konsekuensinya?
- Legislatif akan kehilangan sebagian peran pengawasannya.
- Pemilu akan makin sulit diakses oleh partai-partai kecil.
- Presiden dan kabinet akan lebih leluasa tanpa mekanisme kontrol yang memadai.
- Risiko abuse of power meningkat, terutama dalam pengambilan keputusan strategis nasional.
- Sistem check and balances akan bergeser ke arah dominasi tunggal oleh eksekutif.
Dalam jangka panjang, ini bisa mengubah wajah politik Indonesia. Dari sistem demokrasi representatif, menjadi sistem yang lebih terpusat dan hierarkis. Keterwakilan daerah dan minoritas juga terancam mengecil, karena tekanan sistem politik yang makin sempit.
Proses Legislasi yang Buram
Salah satu hal paling mencurigakan dari RUU ini adalah prosesnya. Banyak dokumen tidak bisa diakses publik. Agenda sidang sering berubah. Draf resmi kerap diganti tanpa penjelasan.
Beberapa LSM dan lembaga pemantau hukum menyebut ini sebagai bentuk “legislasi tertutup”. Bahkan ada dugaan bahwa beberapa pasal disisipkan atas permintaan pihak eksternal, yang tak punya mandat publik.
“Prosesnya seperti dipaksa cepat. Tidak ada uji publik yang berarti, padahal dampaknya jangka panjang,” ungkap perwakilan dari ICW dalam siaran persnya.
Pertemuan Prabowo dan Megawati: Strategi Politik atau Awal Koalisi Baru?
Kata Pakar dan Suara Warga
Sejumlah pakar hukum tata negara menegaskan pentingnya meninjau ulang RUU ini secara menyeluruh. “Kita sedang bermain di tepi jurang otoritarianisme,” ujar Prof. Edi S., seorang akademisi senior.
Di media sosial, banyak warga sipil mulai bersuara. Petisi online mulai ramai. Gerakan mahasiswa pun perlahan menggeliat. Di beberapa kota besar, diskusi publik mulai digelar secara swadaya.
“Kalau kita diam, kita bisa kehilangan kontrol terhadap negara ini. Jangan biarkan masa depan disusun diam-diam,” ujar seorang mahasiswa di Yogyakarta saat demonstrasi.
Penutup: Masih Bisa Dicegah

Pengesahan RUU reformasi DPR belum final. Masih ada ruang bagi publik untuk bersuara. Namun waktu terus berjalan, dan tekanan politik makin kuat.
Di tengah dinamika ini, yang paling penting adalah memastikan agar undang-undang dibuat untuk rakyat—bukan demi memperkuat segelintir elite.
Publik berhak tahu. Publik berhak ikut serta. Dan publik punya kekuatan untuk mendorong proses legislasi yang transparan, inklusif, dan akuntabel.
Baca Juga: