ASEAN 2025 — Jalan di Tempat?
Di awal 2025, ASEAN seperti kendaraan yang hidup mesinnya, tapi tak bergerak ke mana-mana. Krisis Myanmar belum selesai, Laut Cina Selatan makin panas, dan tak satu pun negara tampak mau mengambil kendali. Semua mata sebenarnya tertuju pada Indonesia di ASEAN 2025 — negara terbesar di kawasan, ekonomi terkuat, dan punya sejarah panjang dalam diplomasi damai. Namun, apakah Indonesia benar-benar siap memimpin?
Indonesia: Besar Tapi Tak Bertaji?
Indonesia di ASEAN 2025 ibarat raksasa di antara negara-negara lain — secara jumlah penduduk, kekuatan ekonomi, bahkan pengaruh budaya. Sayangnya, dalam urusan geopolitik, keberanian mengambil langkah maju sering tak sebanding dengan potensi yang dimiliki.
IMF mencatat bahwa pada 2025, GDP Indonesia diperkirakan mencapai USD 1,53 triliun — menyumbang lebih dari 35% ekonomi ASEAN. Namun dominasi ekonomi tak selalu diiringi dominasi kebijakan.
Banyak pengamat regional mulai bertanya: mengapa Indonesia terlihat enggan mengambil inisiatif, padahal punya semua modal untuk itu?
Diplomasi Indonesia Myanmar: Luka Lama yang Dibiarkan Menganga
Sejak kudeta militer pada 2021, Myanmar menjadi titik gelap dalam peta ASEAN. Hingga kuartal kedua 2025, kekerasan terus berlanjut. UNHCR mencatat ada lebih dari 2,4 juta pengungsi internal, dengan laporan pelanggaran HAM yang tak kunjung surut.
Indonesia memang pernah memimpin penyusunan Five-Point Consensus saat menjabat ketua ASEAN tahun 2023. Tapi hingga kini, pelaksanaannya hanya tinggal di atas kertas.
Sayangnya, Indonesia lebih memilih memainkan peran sebagai “penjaga netralitas” ketimbang menjadi motor penyelesaian konflik.
Pertanyaannya sederhana: adakah upaya nyata dari Indonesia untuk menekan junta militer atau memperkuat peran ASEAN dalam proses perdamaian? Atau semua hanya sekadar pernyataan diplomatis di mimbar forum?
Laut Cina Selatan: Natuna dan Diamnya Indonesia
Ketika Laut Cina Selatan kembali memanas akibat insiden di Second Thomas Shoal pada Maret 2025, Indonesia hanya mengeluarkan pernyataan standar: “menghimbau semua pihak menahan diri.”
Padahal, Indonesia sendiri punya kepentingan besar — kawasan Natuna kerap diklaim sepihak oleh Tiongkok. Namun ketegasan belum terlihat. Justru Filipina dan Vietnam yang tampil vokal, bahkan aktif menggandeng mitra luar kawasan untuk mengamankan posisinya.
Indonesia seolah takut mengganggu keseimbangan, padahal dunia tidak menunggu negara yang ragu-ragu.
Ekonomi ASEAN: Tumbuh Tapi Tak Terarah
Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) semestinya menjadi alat utama ASEAN menyatukan kekuatan ekonominya. Namun realitanya, dominasi arah kebijakan di 2025 masih dipegang Jepang dan Tiongkok.
Tiongkok, misalnya, meningkatkan Foreign Direct Investment (FDI) ke ASEAN sebesar 9,1% di paruh pertama 2025. Indonesia menerima porsi terbanyak, yaitu 26%, namun apakah investasi tersebut diarahkan ke penguatan kawasan? Sayangnya, tidak.
Baca Juga:
Netralitas Politik Indonesia vs Keamanan Kawasan ASEAN: Dilema Prabowo di 2025Alih-alih memperkuat posisi bersama, negara-negara ASEAN lebih sibuk mengejar kepentingan bilateral masing-masing.
ASEAN seperti orkestra tanpa konduktor — semua mainkan alat masing-masing, tapi tak ada harmoni.
Hambatan Kepemimpinan Indonesia: Masalah Internal Sendiri
Banyak yang bertanya: kenapa Indonesia tidak langsung ambil alih komando ASEAN? Jawabannya tak semudah menyalahkan diplomasi luar negeri. Masalah internal juga berperan besar.
1. Politik Dalam Negeri Masih Dominan
Transisi pasca-pemilu 2024 masih menyisakan tarik ulur koalisi dan pembagian kekuasaan. Fokus elite nasional lebih tertuju pada proyek Ibu Kota Nusantara dan konsolidasi politik dalam negeri, bukan geopolitik regional.
2. Koordinasi Antar-Kementerian Lemah
Diplomasi yang tidak satu suara sering membuat Indonesia terlihat plin-plan. Kemenlu bicara damai, tapi Kementerian Ekonomi bicara keuntungan bilateral. Akhirnya, dunia melihat Indonesia sebagai negara yang “terlalu sopan untuk ambil keputusan besar.”
Haruskah Indonesia Menunggu atau Bergerak?
ASEAN tak bisa terus berada dalam posisi menunggu. Jika Indonesia ingin dihormati sebagai pemimpin kawasan, maka langkah-langkah nyata harus dimulai sekarang — bukan nanti.
Apa yang Bisa Dilakukan Indonesia?
- Menyusun strategi regional jangka panjang.
Indonesia perlu grand strategy luar negeri ASEAN yang tidak berubah setiap ganti presiden. - Aktif dalam diplomasi maritim.
Natuna bukan hanya soal kedaulatan, tapi juga simbol keberanian Indonesia. - Dorong integrasi ekonomi yang setara.
Jadikan investasi asing sebagai alat membangun kekuatan ASEAN, bukan sekadar mengejar angka pertumbuhan. - Bangun diplomasi lintas kementerian.
Pemerintah perlu satu narasi luar negeri yang tegas dan konsisten.
ASEAN Tak Bisa Terus Mengambang

Tahun 2025 seharusnya menjadi titik balik bagi ASEAN. Tapi tanpa kepemimpinan yang berani, kawasan ini akan terus menjadi panggung tarik ulur kekuatan global dalam lanskap geopolitik Asia Tenggara. Indonesia memiliki segalanya untuk memimpin — ukuran, sejarah, dan sumber daya — kecuali satu hal: kemauan politik.
ASEAN tak butuh pemimpin yang sempurna. Tapi ASEAN butuh negara yang berani bertindak ketika semua negara lain hanya berbicara.
Indonesia bisa jadi negara itu — jika mau berhenti berdiri di tengah dan mulai melangkah ke depan.
Reff page: ASEAN dan Kekuasaan yang Tak Pernah Lahir