RUU Penyiaran 2025: Sensor Baru dalam Demokrasi Digital Indonesia?

RUU Penyiaran 2025: Sensor Baru dalam Demokrasi Digital Indonesia?
76 DILIHAR 4MENITs 0 KOMENTAR

Apa yang Sebenarnya Diatur?

RUU Penyiaran 2025 kembali menjadi sorotan publik setelah draf revisinya beredar luas dan menimbulkan kegelisahan, terutama dari kalangan jurnalis dan pelaku konten digital. Jika sebelumnya penyiaran diatur hanya mencakup televisi dan radio, kini jangkauannya diperluas ke media non-linier seperti YouTube, podcast, bahkan media sosial.

Tapi pertanyaannya sederhana: apakah RUU ini menyasar penyebaran hoaks dan konten negatif secara tepat? Ataukah ia justru membuka peluang baru bagi penyensoran atas nama “aturan”?


Aturan Baru yang Bikin Resah

Jurnalisme Investigatif Dilarang?

Salah satu pasal paling kontroversial menyatakan larangan terhadap penayangan jurnalisme investigatif dalam program penyiaran. Padahal, selama ini jurnalisme jenis inilah yang kerap membongkar kasus besar: korupsi, pelanggaran HAM, hingga skandal politik.

Kritik:
Larangan ini menunjukkan ketakutan negara terhadap kontrol publik. Bukannya memperbaiki kualitas siaran, negara justru ingin mempersempit ruang kerja media yang kritis.

Organisasi seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Dewan Pers, hingga LSM internasional menyuarakan kekhawatiran atas kemunduran kebebasan pers di Indonesia jika pasal ini disahkan.


Aturan Diperluas ke YouTube dan Podcast

Tak hanya media konvensional, RUU Penyiaran 2025 juga mengatur konten digital non-linier seperti YouTube, podcast, dan live streaming. Seluruhnya disebut dapat diawasi dan diberikan sanksi oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

Kritik:
Ini memperlihatkan keinginan negara untuk mengontrol narasi publik yang selama ini tumbuh subur di ruang-ruang alternatif. Masyarakat yang sebelumnya menikmati konten bebas dan beragam, bisa jadi akan hanya menerima satu versi “kebenaran” yang dianggap sesuai oleh otoritas.


Data dan Kondisi Terkini di 2025

Menurut laporan Freedom on the Net 2025, skor Indonesia turun ke 59/100 dalam kategori kebebasan digital — lebih rendah dari Filipina dan India. Salah satu penyebab utamanya adalah pengesahan dan perluasan regulasi penyiaran serta penggunaan UU ITE yang masih problematik.

Studi Center for Digital Society juga mencatat bahwa lebih dari 70% konten kreator merasa khawatir menyuarakan opini politik karena potensi pelaporan dan sanksi.


KPI: Lembaga Pengawas atau Alat Kekuasaan?

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), yang semula dibentuk untuk menjaga etika siaran publik, kini diproyeksikan punya wewenang luas terhadap konten internet. Namun, akuntabilitas KPI sendiri selama ini sering dipertanyakan. Banyak kasus pelaporan absurd, seperti acara kartun yang dianggap “tidak senonoh”, menjadi bukti subjektivitas penilaian mereka.

Kritik:
Memberikan KPI kuasa atas ruang digital tanpa mekanisme partisipatif publik hanya akan memperluas praktik sensor yang tidak objektif.


Realitas Demokrasi Digital Indonesia

Indonesia sering membanggakan statusnya sebagai negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara. Tapi perkembangan ini tidak sejalan dengan realitas digital yang sedang terjadi.

RUU Penyiaran 2025 bukan hanya ancaman teknis regulasi, melainkan sinyal bahwa negara masih belum siap mempercayai warganya untuk berpikir kritis dan menilai informasi secara independen.

Baca Juga:


Solusi Alternatif: Edukasi, Bukan Represi

Jika tujuan pemerintah adalah menangani hoaks dan disinformasi, maka solusi ideal bukanlah memperketat sensor. Solusi yang lebih berkelanjutan meliputi:

  1. Peningkatan literasi digital di sekolah dan komunitas.
  2. Kolaborasi dengan komunitas kreator untuk menyusun standar etik konten.
  3. Penguatan Dewan Pers dan publikasi kode etik terbuka.

Menuju Masa Depan yang Terbuka atau Terkekang?

Infografis Pro dan Kontra RUU Penyiaran 2025

RUU Penyiaran 2025 adalah cermin bagaimana negara melihat masyarakatnya: sebagai mitra demokrasi atau sebagai objek yang harus dikontrol. Jika revisi ini terus dipaksakan tanpa perbaikan dan partisipasi publik, maka Indonesia tengah menanam benih regresi demokrasi — bukan kemajuan.

Di era ketika ruang digital seharusnya menjadi tempat diskusi sehat dan keterbukaan, mengunci kebebasan melalui RUU Penyiaran justru memperkecil harapan akan Indonesia yang lebih demokratis, transparan, dan inklusif.

Reff Pages:
- https://www.hukumonline.com/berita/a/6-kasus-kekerasan-terhadap-jurnalis--ancaman-serius-kebebasan-pers-lt67f3a358d9a13/
- https://www.ui.ac.id/ancaman-kekerasan-masih-menjadi-masalah-kebebasan-pers-indonesia/
Verified by MonsterInsights