Krisis global 2025 tidak datang dalam satu bentuk. Dunia menghadapi tumpang tindih antara konflik geopolitik, inflasi pangan dan energi, hingga pengetatan ruang digital. Di tengah turbulensi ini, Indonesia tidak hanya dituntut untuk bertahan, tetapi juga menentukan arah.
Namun, strategi kedaulatan Indonesia justru tampak reaktif, terfragmentasi, dan penuh kompromi. Banyak keputusan kebijakan strategis lebih dipandu oleh kebutuhan pencitraan politik ketimbang keberlanjutan jangka panjang.
Diplomasi Bebas Aktif: Retorika yang Semakin Kosong?
Politik Luar Negeri yang Tak Lagi Progresif
Prinsip bebas aktif dulunya menjadi kebanggaan Indonesia. Tapi kini, ia makin kehilangan makna. Dalam krisis Myanmar, Indonesia masih gagal mendorong langkah kolektif ASEAN yang tegas. Dalam konflik Laut Cina Selatan, Indonesia tampak berhati-hati, bahkan cenderung menghindar.
Kritik: Bebas aktif seharusnya mengandung keberanian moral dan strategi. Tapi diplomasi kita lebih mirip “bebas pasif” — tidak berpihak, tidak terlibat, dan tidak berdampak.
Palestina sebagai Simbol Keberanian yang Selektif
Indonesia tampak vokal dalam mendukung Palestina. Tapi dukungan ini lebih sering digunakan sebagai alat politik domestik. Pada isu yang lebih kompleks dan kurang populer, seperti konflik Rohingya atau krisis Afghanistan, sikap Indonesia tidak sekuat itu.
Kritik: Diplomasi kita bersikap ketika aman secara politik, bukan karena prinsip.
Ketahanan Energi: Gagasan Besar, Ketergantungan Lebih Dalam
Proyek Energi Hijau Tanpa Akar Kedaulatan
Indonesia memamerkan ambisinya dalam Bloomberg Energy Forum 2025. Tapi kenyataan di lapangan menunjukkan ketergantungan besar pada investasi luar negeri, khususnya dari Tiongkok dan Uni Emirat Arab.
Kritik: Kita terlalu sibuk mencetak MoU dan groundbreaking proyek tanpa memikirkan aspek alih teknologi, kedaulatan aset, dan kepemilikan nasional.
Alih-alih memperkuat kapasitas BUMN energi, kebijakan kita justru menciptakan pasar terbuka bagi investasi asing yang mendominasi, tanpa jaminan kontrol jangka panjang.
Digitalisasi: Pembangunan Infrastruktur, Pembungkaman Ekspresi
Demokrasi Digital yang Dipreteli
RUU Penyiaran 2025 menjadi bukti kemunduran demokrasi digital. Alih-alih memberantas hoaks secara edukatif, pemerintah justru memperketat sensor terhadap media independen dan konten kreatif.
Kritik: Negara seolah alergi terhadap narasi yang tak bisa dikendalikan. Daripada melawan disinformasi dengan literasi, negara memilih jalan pintas berupa pembungkaman.
Banyak pihak menilai bahwa RUU ini tidak menjawab kebutuhan zaman, justru menimbulkan ketakutan baru bagi konten kreator, jurnalis, dan aktivis.
Visi Indonesia Emas 2045: Antara Ambisi dan Kekosongan Strategi
Proyek Mercusuar yang Tak Menyentuh Rakyat
Visi Indonesia Emas 2045 menargetkan Indonesia menjadi kekuatan ekonomi global. Namun arah kebijakannya lebih menunjukkan pencitraan elitis: pemindahan ibu kota, pembangunan infrastruktur raksasa, dan festival diplomasi.
Kritik: Tidak ada strategi menyeluruh untuk pemerataan pendidikan, kesehatan, dan penurunan ketimpangan. Visi Emas tanpa keadilan sosial hanyalah mitos pembangunan.
Program pendidikan, misalnya, masih minim reformasi struktural. Kurikulum belum relevan dengan kebutuhan era digital dan tantangan globalisasi.
Elitisasi Kedaulatan: Kepentingan Publik atau Oligarki?
Banyak keputusan strategis tampaknya tidak berbasis kebutuhan rakyat, melainkan keinginan elite. Koalisi politik besar justru menjauhkan oposisi kritis. KPI yang mengawasi penyiaran juga kerap bersikap normatif, bahkan membela status quo.
Kritik: Kedaulatan nasional hanya akan bermakna jika rakyat dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Selama kebijakan dibuat tertutup dan elitis, rakyat hanya jadi penonton.
Rebut Kedaulatan, Jangan Hanya Ucapkan

Strategi kedaulatan tidak cukup dengan retorika. Ia menuntut keberanian moral, kepemimpinan jangka panjang, dan kemauan melibatkan masyarakat. Di tengah krisis global, Indonesia tak bisa hanya beradaptasi—Indonesia harus memimpin secara sadar dan mandiri.
Tanpa koreksi serius, arah pembangunan Indonesia akan dipenuhi proyek simbolik, bukan fondasi berdaulat. Kedaulatan sejati bukan hanya soal menghindari intervensi asing, tapi soal kemampuan menentukan nasib bangsa secara mandiri dan adil.
Baca Juga:
- Visi Indonesia Emas 2045: Mimpi Besar yang Harus Kita Kejar Bareng-Bareng
- Netralitas Politik Indonesia vs Keamanan Kawasan ASEAN: Dilema Prabowo di 2025
- Indonesia di Panggung Bloomberg Energy Forum 2025: Magnet Baru Investasi Energi Dunia
- RUU Penyiaran 2025: Sensor Baru dalam Demokrasi Digital Indonesia?