Ironi Stok Melimpah Tapi Harga Tetap Melonjak
Kondisi harga beras di Indonesia kembali menjadi sorotan. Padahal, menurut data resmi Bulog per Juni 2025, stok beras nasional tercatat mencapai 4,1 juta ton. Namun ironisnya, data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa harga beras naik di 133 kabupaten/kota, meningkat dari 119 daerah pada pekan sebelumnya.
Fenomena ini memunculkan pertanyaan besar: kenapa harga beras naik meski stok melimpah?
Tengkulak dan Oligopoli Distribusi Mainkan Harga
Salah satu penyebab utama harga beras naik adalah peran tengkulak dan pelaku distribusi besar. Rantai pasok pangan di Indonesia masih sangat rentan dikendalikan oleh sekelompok distributor besar yang punya kekuatan mengatur pasokan di tingkat konsumen.
Menurut pengamat dari CORE Indonesia, Eliza Mardian:
“Ada permainan middleman yang menguasai rantai pasok. Harga di tingkat konsumen gampang dimanipulasi meskipun stok pusat melimpah.”
Inilah yang menjadi penyebab harga beras naik, bukan karena kekurangan pasokan, melainkan adanya kendala di distribusi dan penguasaan stok oleh segelintir pihak.
Kinerja Bulog Lambat Distribusi Bansos
Untuk menstabilkan harga, pemerintah sejatinya sudah menggelontorkan program bantuan sosial (bansos) beras. Namun, penyaluran bansos tersebut masih menghadapi kendala:
- Proses distribusi yang tidak merata.
- Penyaluran terlambat ke wilayah dengan tekanan harga tinggi.
- Kualitas beras bansos yang terancam menurun jika terlalu lama menumpuk di gudang.
Akibatnya, meskipun stok besar, harga beras naik tetap tak terbendung di banyak daerah.
Zona Timur Tertinggi, Jakarta Ikut Terdampak
Fenomena harga tinggi paling mencolok terjadi di wilayah Indonesia Timur, seperti Papua dan Maluku. Harga beras di beberapa kabupaten seperti Intan Jaya bisa tembus Rp54.000 per kilogram, jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET).
Sementara di Jakarta sendiri, sebagai pusat ekonomi, harga beras premium juga menyentuh angka Rp15.779 per kilogram, tetap jauh dari HET yang ditetapkan pemerintah.
Kelemahan Regulasi Harga dan Kesenjangan Infrastruktur
Selain penguasaan pasar, penyebab kenapa harga beras naik adalah kelemahan dalam penetapan HET yang kaku. HET kerap kali tidak merefleksikan realitas biaya logistik, pengangkutan, dan margin yang dibutuhkan di daerah terpencil.
Infrastruktur logistik yang timpang antara wilayah barat dan timur Indonesia menambah biaya distribusi, yang ujungnya dibebankan ke konsumen.
Kritik: Akar Masalah Bukan Stok, Tapi Struktur Pasar
Masalah sebenarnya bukan pada seberapa banyak stok yang ada, melainkan pada:
- Siapa yang menguasai stok.
- Siapa yang mengontrol distribusi.
- Seberapa transparan mekanisme pasarnya.
Tanpa pembenahan struktur rantai pasok, harga beras naik akan terus terjadi bahkan di tengah stok yang melimpah.
Solusi yang Perlu Diprioritaskan
Agar gejolak harga beras tidak terus berulang, beberapa solusi perlu segera diimplementasikan:
- Transparansi data stok pangan nasional.
Data real-time mengenai distribusi stok perlu dipublikasikan secara terbuka. - Reformasi distribusi pangan nasional.
Koperasi, BUMDes, dan UMKM lokal perlu diperluas perannya dalam distribusi beras. - Evaluasi ulang HET dan harga pembelian pemerintah.
Penyesuaian berkala sesuai kondisi logistik dan biaya riil di lapangan. - Penguatan Bulog sebagai stabilisator harga.
Jangan hanya sebagai penampung stok, tapi juga pengendali distribusi aktif.
Kenapa Harga Beras Naik? Bukan Sekedar Stok, Tapi Gagal Tata Kelola

1️⃣ Struktur Pasar Dibiarkan Oligopolistik
Masalah utama bukan sekedar adanya tengkulak, tapi negara gagal memutus dominasi middleman yang sejak lama mengontrol rantai pasok pangan. Distribusi pangan dikuasai segelintir distributor besar yang mampu memainkan stok dan harga secara sepihak.
Kritik:
Selama pemerintah tidak berani membongkar kartel distribusi pangan, maka stok sebesar apapun tetap bisa dimanipulasi menjadi kelangkaan semu. Negara tampak membiarkan dominasi oligopoli berjalan tanpa pengawasan yang memadai.
2️⃣ Bulog Melemah Sebagai Penyeimbang Pasar
Awalnya Bulog dibentuk sebagai stabilisator harga. Namun, dalam prakteknya, Bulog lebih berperan sebagai gudang penyimpan daripada pengendali distribusi aktif.
Kritik:
Bulog kehilangan fungsi intervensi strategis. Tanpa penguatan mandat untuk masuk langsung ke pasar ritel, Bulog hanya sekedar ‘penonton’ saat tengkulak memainkan harga.
3️⃣ Kebijakan Bansos Tidak Memotong Akar Masalah
Bansos beras terus digelontorkan saat harga naik. Namun skema bansos hanya bersifat jangka pendek dan bersifat tambal sulam tanpa menyelesaikan akar persoalan distribusi dan produksi.
Kritik:
Ketergantungan pemerintah pada program bansos membuat masalah harga pangan jadi alat stabilisasi politik jangka pendek, bukan solusi struktural jangka panjang.
4️⃣ Ketiadaan Transparansi Data Pasar
Hingga saat ini, publik tidak punya akses penuh pada data stok nasional secara real-time. Siapa yang menguasai stok di gudang, berapa jumlah di masing-masing wilayah, dan siapa distributor dominannya, semua data bersifat tertutup.
Kritik:
Minimnya transparansi data memperbesar peluang spekulasi harga. Negara gagal membangun ekosistem informasi pangan yang transparan dan akuntabel.
5️⃣ Infrastruktur Logistik Tidak Pernah Diselesaikan Serius
Kesenjangan harga antara Papua dan Jawa sudah berlangsung bertahun-tahun. Namun upaya pembangunan logistik pangan efisien — seperti cold storage, tol logistik pangan, atau jalur distribusi terpadu — selalu berjalan lambat.
Kritik:
Negara lebih sibuk dengan proyek mercusuar, sementara reformasi logistik pangan yang sangat vital untuk menekan harga pangan rakyat tidak kunjung jadi prioritas nasional.
🔎 Akhir Dari Kritik:
Kenaikan harga beras di tengah stok melimpah adalah gambaran nyata kegagalan tata kelola pangan nasional.
Bukan karena produksi gagal, melainkan karena pasar yang dibajak, intervensi negara yang lemah, dan kebijakan distribusi yang tidak menyentuh akar masalah oligopoli.