Indonesia Belum Punya Iron Dome Seperti Israel, Lalu Kapan?

iron dome israel, sistem pertahanan udara, iron dome, konflik timur tengah
34 DILIHAR 6MENITs 0 KOMENTAR

Konflik Timur Tengah kembali menjadi sorotan setelah sistem pertahanan Iron Dome Israel bekerja keras menangkis serangan roket dari berbagai arah. Publik dunia terkagum-kagum, sementara di Indonesia, muncul pertanyaan: kenapa kita belum punya sistem seperti itu?

Padahal, dengan wilayah yang luas dan kondisi geopolitik yang dinamis, sistem pertahanan udara menjadi kebutuhan yang tidak bisa ditunda. Namun kenyataannya, Indonesia belum memiliki sistem sekelas Iron Dome dalam arsenal militernya.


Apa Itu Iron Dome dan Mengapa Diperlukan?

Iron Dome adalah sistem pertahanan udara jarak pendek milik Israel yang dirancang untuk mencegat roket, mortir, dan drone dalam waktu kurang dari satu menit. Sistem ini sangat efektif melindungi wilayah padat penduduk dari serangan rudal jarak dekat, terutama selama eskalasi konflik di Timur Tengah.

Iron Dome bekerja dengan menembakkan rudal pencegat dari peluncur otomatis, didukung radar canggih yang dapat mendeteksi dan memutuskan apakah ancaman akan menghantam area sensitif atau tidak. Jika iya, rudal akan ditembakkan untuk menghancurkan target di udara.


Indonesia Punya Apa?

Indonesia tidak tinggal diam. Beberapa sistem pertahanan udara yang saat ini dimiliki TNI AU antara lain:

  • NASAMS 2 (Norwegia): sistem pertahanan jarak menengah berbasis rudal AMRAAM.
  • Skyshield (Swiss): artileri otomatis jarak pendek.
  • Chiron (Korea Selatan): rudal MANPAD jarak pendek.
  • Radar VERA-NG, GM-400, dan RAT-31DL: sistem deteksi ancaman lintas udara.

Namun, tidak ada satu pun dari sistem tersebut yang secara spesifik dirancang untuk menghantam roket atau drone berkecepatan rendah secara massal seperti yang dilakukan Iron Dome.


Kenapa RI Belum Punya Iron Dome?

1. Ancaman Prioritas yang Berbeda

Israel menghadapi serangan harian dari roket dan drone lintas perbatasan. Indonesia, sejauh ini, belum memiliki ancaman serupa dalam intensitas tinggi.

2. Anggaran Pertahanan yang Terbatas

Iron Dome bukan sistem murah. Biaya satu unit peluncur dan sistem radar bisa mencapai ratusan juta dolar. Dengan keterbatasan APBN, Indonesia lebih fokus ke sistem multifungsi jarak menengah.

3. Belum Ada Transfer Teknologi

Sistem seperti Iron Dome biasanya dikembangkan melalui kolaborasi erat antara militer, ilmuwan, dan industri lokal. Indonesia masih dalam proses mengejar ketertinggalan di sektor pertahanan berbasis teknologi tinggi.

4. Infrastruktur Komando yang Belum Terintegrasi

Iron Dome bekerja karena adanya integrasi kuat antara radar, pusat kendali, dan unit rudal. Indonesia masih membangun pondasi sistem komando digital terpadu.


Apakah Indonesia Butuh Iron Dome?

Jawabannya: belum tentu sekarang, tapi perlu ke depan. Ancaman keamanan modern tidak lagi selalu datang dari serangan besar, melainkan bisa berbentuk:

  • Drone swarm (seperti di konflik Ukraina)
  • Rudal hipersonik
  • Serangan siber yang memicu kerusakan infrastruktur

Dengan membangun sistem pertahanan udara nasional berlapis, Indonesia bisa lebih siap menghadapi berbagai skenario.


Rekomendasi Strategis:

  • Kembangkan sistem pertahanan drone lokal berbasis AI.
  • Bangun sistem C4ISR nasional (komando dan kontrol real-time).
  • Dorong alih teknologi dengan negara mitra pertahanan (Korea, Norwegia, Turki).
  • Prioritaskan pertahanan perkotaan dan infrastruktur vital dengan skema multi-lapis.

Waktunya Siapkan Sistem Kedaulatan Udara

Iron Dome adalah simbol kesiapsiagaan dan kemandirian Israel dalam menghadapi tekanan. Indonesia tidak harus meniru sistem yang sama, tapi harus punya solusi yang sesuai dengan kondisi ancaman dan geografi kita.

Satu hal yang pasti, kedaulatan udara tidak bisa dibangun dengan pembelian saja, melainkan lewat integrasi, investasi teknologi, dan keputusan politik yang berani.

Kenapa Indonesia Belum Punya Iron Dome? Apakah Segitu Tidak Pentingnya?

Infografis pro dan kontra terkait belum adanya sistem pertahanan udara seperti Iron Dome di Indonesia

Meskipun kondisi geopolitik kawasan Asia Tenggara relatif stabil, absennya sistem pertahanan udara jarak pendek sekelas Iron Dome menunjukkan kekosongan kebijakan strategis yang seharusnya sudah mulai diantisipasi oleh pemerintah. Beberapa poin kritik utama meliputi:


1. Absennya Visi Jangka Panjang dalam Modernisasi Pertahanan

Iron Dome bukan hanya soal teknologi, tetapi juga soal keberanian mengambil kebijakan jangka panjang yang berpihak pada perlindungan warga sipil dan infrastruktur vital.

Indonesia cenderung reaktif dalam pengadaan alutsista—bukan berbasis proyeksi ancaman 10–20 tahun ke depan.


2. Fokus Belanja Militer Tidak Terarah

Selama satu dekade terakhir, anggaran pertahanan Indonesia banyak terserap pada pembelian jet tempur, kapal selam, dan kendaraan lapis baja, namun pertahanan udara sipil minim perhatian.

Iron Dome bukan prioritas karena dianggap tidak sesuai dengan narasi ancaman yang diakui pemerintah.
Padahal, tren global menunjukkan peningkatan ancaman drone, rudal pendek, dan serangan tak simetris.


3. Ketiadaan Industri Pertahanan Lokal yang Mendukung

Sistem seperti Iron Dome tidak hanya dibeli, tapi dikembangkan bersama industri dalam negeri. Indonesia belum memiliki ekosistem pertahanan yang sanggup mendesain, memproduksi, dan mengintegrasikan sistem kompleks semacam itu.

Tanpa investasi serius dalam riset, SDM, dan rekayasa militer, RI akan terus menjadi pengimpor solusi, bukan pencipta sistem.


4. Kegagalan Membaca Perubahan Ancaman Global

Perang di Ukraina, konflik Israel-Gaza, dan meningkatnya teknologi drone murah di pasar gelap menunjukkan bahwa ancaman udara kini bisa datang dari kelompok non-negara.

Indonesia belum terlihat merespons hal ini dengan serius—padahal serangan rudal murah dan drone bisa sangat destruktif jika menyerang instalasi energi atau pelabuhan besar.


5. Kurangnya Transparansi dan Akuntabilitas

Proyek pertahanan di Indonesia sering tertutup dari publik dan tidak melibatkan akademisi atau analis independen.

Ini menyebabkan pengambilan keputusan strategis kerap tidak optimal dan sulit dipertanggungjawabkan secara geopolitik maupun fiskal.


🔎 Akhir dari Kritik:

Absennya Iron Dome bukan sekadar soal teknis atau biaya, tapi indikasi lemahnya desain pertahanan menyeluruh Indonesia dalam menghadapi ancaman modern.

Jika Indonesia serius menjaga kedaulatan wilayah dan keselamatan rakyat di masa depan, maka perlu:

  • Strategi pertahanan udara nasional terintegrasi,
  • Investasi dalam ekosistem pertahanan lokal,
  • Serta kemauan politik yang kuat untuk keluar dari mentalitas “belanja militer reaktif.”


Verified by MonsterInsights