9 Bos Swasta, Tom Lembong, dan Enggartiasto Didakwa Korupsi Impor Gula hingga Rugikan Negara Rp578 Miliar

korupsi impor gula, tom lembong, kementerian perindustrian, kerugian negara, Enggartiasto Lukita, mafia gula Indonesia
37 DILIHAR 6MENITs 0 KOMENTAR

Skandal korupsi impor gula kembali mengguncang sektor perdagangan Indonesia. Kali ini, sembilan bos perusahaan swasta bersama dua mantan Menteri Perdagangan, Tom Lembong dan Enggartiasto Lukita, didakwa merugikan negara sebesar Rp578 miliar. Kasus ini melibatkan manipulasi izin impor tanpa rekomendasi dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin), yang seharusnya menjadi otoritas utama dalam pengendalian pasokan dalam negeri.

Modus Korupsi Impor: Manipulasi Izin di Tengah Stok Cukup

Jaksa Penuntut Umum menyebut para terdakwa mengajukan dan menerima izin impor gula kristal mentah (GKM) saat stok domestik masih mencukupi. Ironisnya, izin tetap dikeluarkan meski tidak ada rekomendasi resmi dari Kemenperin, yang melanggar prosedur resmi distribusi pangan nasional.

Beberapa perusahaan seperti PT Angels Products, PT Makassar Tene, dan PT Sentra Usahatama Jaya disebut memperoleh keuntungan pribadi ratusan miliar dari skema ini.

Mafia Gula Indonesia: Jaringan yang Sulit Tersentuh?

Dalam kasus ini, nama mafia gula Indonesia kembali mencuat. Mereka memanfaatkan celah koordinasi antara Kemenperin, Kemendag, dan BUMN pembeli. Gula hasil impor dipasarkan melalui PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI), INKOPPOL, dan INKOPKAR—dengan harga jual yang jauh lebih tinggi dari biaya impor.

Kritik muncul dari kalangan pengamat kebijakan pangan: ketidaktransparanan data stok dan kebutuhan domestik menciptakan ruang gelap untuk praktik rente dan korupsi.

Peran Kementerian dan Eks Menteri: Siapa Bertanggung Jawab?

Enggartiasto Lukita dan Tom Lembong, dua mantan menteri perdagangan, disebut sebagai pihak yang mengesahkan izin impor tanpa koordinasi resmi. Keduanya menjadi sorotan karena menandatangani kebijakan strategis saat Indonesia sedang dalam masa surplus produksi tebu.

Kritik diarahkan ke lemahnya sistem check and balance antarkementerian. Kemenperin tidak punya kekuatan veto, sementara Kemendag bisa meloloskan izin tanpa audit kebutuhan.

Dampak Langsung: Kerugian Negara dan Petani Lokal

  • Negara dirugikan Rp578 miliar dari praktik pengayaan ilegal.
  • Petani lokal merugi karena harga tebu anjlok di saat gula impor membanjiri pasar.
  • Operasi pasar gagal meredam harga karena distribusi gula lebih dikendalikan oleh distributor besar.

Ini bukan hanya korupsi keuangan, tapi pengkhianatan terhadap kedaulatan pangan nasional.

Solusi dan Tindakan Rekomendatif

  1. Perketat sistem perizinan impor berbasis kebutuhan riil (melibatkan Kemenperin & Badan Pangan Nasional).
  2. Audit total rantai pasok gula nasional, dari produksi, distribusi, hingga harga jual.
  3. Tindak tegas mafia pangan dengan pendekatan lintas sektor (hukum, fiskal, dan transparansi publik).
  4. Bangun sistem informasi terbuka terkait data pangan nasional untuk publik dan jurnalis investigasi.

Skandal ini adalah contoh nyata kegagalan sistemik dalam pengawasan sektor vital seperti pangan. Ketika mafia gula bertemu dengan kebijakan impunitas, yang dirugikan adalah petani dan konsumen. Untuk mencegah pengulangan, Indonesia harus bergerak dari mentalitas birokrasi tertutup menjadi ekonomi pangan berbasis transparansi dan keadilan.


đź§­ Kritik atas Skandal Korupsi Impor Gula

Infografis Pro dan Kontra Skandal Korupsi Impor Gula Indonesia 2025

1. Tata Kelola Impor Lemah dan Tidak Transparan

Salah satu akar masalah utama adalah minimnya transparansi dalam proses perizinan impor, terutama untuk komoditas vital seperti gula. Izin diberikan tanpa rekomendasi resmi dari Kementerian Perindustrian, padahal kementerian ini yang memiliki data riil kapasitas produksi dalam negeri.

Kritik: Proses pengambilan keputusan yang tertutup dan berbasis lobi memperbesar peluang korupsi.


2. Dualisme Kepentingan Antar Kementerian

Kemendag dan Kemenperin sering kali memiliki pendekatan berbeda dalam mengelola kebutuhan impor. Dalam kasus ini, Kemendag bertindak secara sepihak tanpa sinkronisasi dengan Kemenperin.

Kritik: Ketiadaan sistem check and balance antar instansi membuat kebijakan strategis menjadi alat mainan elite.


3. Kebijakan Impor Tak Berpihak pada Petani

Dengan diberikannya izin impor saat musim giling dalam negeri, harga tebu lokal otomatis turun. Ini menciptakan kerugian ekonomi bagi petani yang justru menjadi korban sistem.

Kritik: Pemerintah gagal melindungi produsen utama dan lebih mengakomodasi kepentingan perusahaan besar.


4. Lemahnya Deteksi Dini Aparat Pengawas

Kasus ini terjadi dalam rentang waktu yang lama, namun baru terungkap setelah kerugian negara mencapai Rp578 miliar.

Kritik: Sistem pengawasan internal negara terhadap kegiatan perdagangan komoditas strategis sangat lemah, bahkan cenderung dibiarkan.


5. Mafia Gula Terlalu Dalam Mengakar

Skema penjualan gula impor ke BUMN dan koperasi aparatur menunjukkan persekongkolan antara pelaku swasta dan lembaga negara. Ini adalah ciri kuat dari praktik mafia pangan, di mana sektor swasta mengatur pasar melalui akses kekuasaan.

Kritik: Negara tampak tidak berdaya menghadapi mafia pangan yang selama ini berlindung di balik izin resmi dan jaringan elite.


6. Minimnya Akuntabilitas Eks Menteri

Keterlibatan dua mantan menteri—Tom Lembong dan Enggartiasto Lukita—dalam penandatanganan izin tanpa koordinasi, menunjukkan rendahnya akuntabilitas politik dan birokrasi tingkat tinggi.

Kritik: Di Indonesia, jabatan strategis tidak otomatis diikuti dengan tanggung jawab strategis. Para pejabat dapat menandatangani kebijakan besar tanpa konsekuensi hukum langsung.


🔎 Akhir Dari Kritik:

Kasus ini tidak bisa dianggap sebagai “korupsi biasa.” Ini adalah indikator kegagalan struktural dalam:

  • Tata kelola pangan,
  • Koordinasi antarkementerian,
  • Sistem pengawasan internal negara.

Negara bukan tak mampu melawan mafia, ia hanya terlalu nyaman duduk bersama mereka.

Verified by MonsterInsights