Seorang guru PNS bernama Sri Hartono, kini berusia 59 tahun, mengajukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas Pasal 30 ayat (4) UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen. Ia mempertanyakan ketentuan yang menetapkan usia pensiun guru adalah 60 tahun, sementara dosen bisa bertugas hingga usia 65 tahun.
Sri Hartono, yang mengajar di SMAN 15 Semarang, menilai perbedaan ini diskriminatif: meski sama-sama melewati proses sertifikasi profesional, perbedaan usia pensiun ini merugikan guru PNS.
Argumen Guru PNS: Ingin Kesetaraan dengan Dosen
1. Kualitas Sertifikasi Profesional Sama
Guru dan dosen memiliki persyaratan sertifikasi yang setara secara akademis dan profesional.
Sri Hartono menyatakan bahwa jika hanya karena jabatan, perbedaan usia pensiun masih menjadi hambatan keadilan.
2. Perbedaan Jadi ‘Kasta Semu’ di Dunia Pendidikan
Ia menyoroti adanya diskriminasi struktural: usia pensiun guru 60 tahun, sedangkan dosen 65 tahun.
“Ini menciptakan kasta semu dalam pendidikan, padahal sertifikasi adalah tolok ukur kompetensi sejati,” ujarnya.
3. UU ASN & Permen PANRB Sudah Mendukung Kesetaraan
Menurutnya, undang-undang ASN (UU No. 5/2014) dan PermenPANRB No. 1/2023 memungkinkan pejabat fungsional seperti guru dan dosen pensiun di usia 65 tahun. Ini berarti pernyataan aturan otomatis tua pensiun wajib diubah jika MK menerima uji materi ini.
Proses dan Kronologi Kasus
- Gugatan ini didaftarkan Sri Hartono dengan nomor 99/PUU-XXIII/2025, dan dijadwalkan sidang secara daring pada 24 Juni 2025.
- Ia menjalani proses tanpa didampingi pengacara atau kuasa hukum, dan menyebut bahwa perjuangannya bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk rekan guru lain yang mengalami situasi serupa .
Sri mengaku sempat berdiskusi dengan PGRI Jawa Tengah. Meskipun sebelumnya PGRI menolak mengajukan uji materi, kini gerakan ini mulai bergulir kembali karena meningkatnya suara ketidakpuasan di kalangan guru senior.
Namun, Sri menyindir sikap PGRI karena mereka melewatkan kesempatan di revisi UU Sisdiknas yang seharusnya memberikan celah perpanjangan pensiun jika didesain dengan bijak.
Kritik terhadap Gugatan Ini
1. Risiko Stagnasi Rekrutmen Guru Muda
Jika usia pensiun guru dinaikkan ke 65 tahun, jumlah guru senior akan bertahan lama di jabatan, sehingga memblokir peluang bagi guru muda masuk ke sistem pendidikan formal.
2. Beban Finansial Negara Meningkat
Pensiun guru lebih lama berarti beban dana pensiun, tunjangan, dan klaim kesehatan juga meningkat di periode yang lebih panjang.
3. Perbedaan Kultural Antara Guru & Dosen
Peran guru di pendidikan dasar dan menengah lebih berat secara fisik dan mental—menghadapi anak didik, terbatasnya fasilitas, dan lingkungan kerja yang menuntut stamina tinggi.
4. Sistem Pendidikan Indonesia Mungkin Tidak Siap
Perpanjangan usia kerja guru memerlukan dukungan sistem seperti pelatihan berkelanjutan, fasilitas pendukung, serta inovasi kurikulum agar guru usia lanjut tetap relevan dalam pengajaran.
Dampak Potensial Jika Gugatan Menang
Dampak | Penjelasan |
---|---|
Kesetaraan Profesi | Menyatukan batas pensiun guru dan dosen di usia 65 tahun |
Kepastian Karir | Memberikan kesempatan karir yang lebih panjang bagi guru bersertifikasi |
Beban Anggaran | Menaikkan biaya pensiun nasional dan tunjangan jangka panjang |
Regenerasi Guru | Memperlambat masuknya guru muda ke sektor pendidikan resmi |
Rekomendasi Sebagai Jalan Tengah
- Perluas Golongan Fungsional: Guru senior dengan jabatan struktural atau fungsional utama bisa dipertahankan hingga 65 tahun.
- Sistem Evaluasi Kerja: Setiap 5–10 tahun, guru harus menjalani evaluasi kinerja dan pelatihan untuk memastikan kualitas tetap tinggi.
- Model Paruh Waktu: Guru pensiun wajib menyediakan opsi paruh waktu sebagai mentor, dosen tamu, atau inovator pendidikan.
- Dana Pensiun Berkelanjutan: Negara harus menyiapkan cadangan dana jangka panjang untuk pensiun yang lebih panjang.
Gugatan Sri Hartono adalah langkah berani bagi persoalan ketidakadilan dalam sistem pendidikan Indonesia. Meski niat baiknya patut dihargai, perlu diimbangi dengan analisis matang agar keputusannya tidak membawa masalah baru, terutama terkait regenerasi, anggaran, dan sistem pendidikan.
Gugatan ini membuka babak baru dalam wacana reformasi guru di Indonesia: sebuah ujian keseimbangan antara penghormatan kepada pengalaman dan kebutuhan modern pendidikan.
Kritik atas Gugatan Usia Pensiun Guru PNS ke MK

1. Niat Baik Tak Selalu Relevan dalam Struktur Negara
Gugatan Sri Hartono mewakili semangat mempertahankan pengabdian. Namun, sistem kepegawaian negara bukan hanya soal keadilan perorangan, tapi efisiensi institusi.
Usia pensiun bukan semata-mata soal kemampuan fisik, tetapi juga sistem rotasi tenaga kerja, anggaran pensiun, dan kebutuhan penyegaran sumber daya manusia.
“Kalau semua ASN meminta usia pensiun disamakan dengan kelompok lain, maka sistem ASN kita akan jadi ladang negosiasi kepentingan, bukan perencanaan jangka panjang.”
2. Beda Peran, Beda Beban: Guru Bukan Dosen
Dosen memang diperbolehkan bekerja sampai usia 65 karena perannya sebagai pengembang keilmuan. Dosen banyak melakukan riset, menulis jurnal, mengajar dengan skema S1–S3.
Sementara guru lebih banyak terjun ke lapangan, mendampingi siswa usia sekolah setiap hari.
Menyamakan keduanya tanpa menyesuaikan konteks kerja justru menyamaratakan beban secara tidak adil.
3. Regenerasi Guru Bisa Tersumbat
Menaikkan usia pensiun guru PNS akan memperlambat rekrutmen guru muda, yang ironisnya, kini sangat dibutuhkan dalam sistem pendidikan kita.
“Sambil minta usia pensiun naik, kita mengabaikan ribuan lulusan pendidikan yang belum dapat SK guru sejak bertahun-tahun.”
Jika tidak dikaji hati-hati, hal ini bisa menjadi langkah yang kontraproduktif bagi pengembangan kualitas pendidikan nasional.
4. Menambah Beban Anggaran Negara
Usia pensiun yang lebih lama berarti pemerintah harus menyediakan dana tunjangan, gaji, dan pensiun yang lebih panjang. Dalam APBN yang selalu terbatas, memperpanjang pensiun tanpa menambah produktivitas bisa menjadi beban fiskal baru.
5. Motif Personal Tidak Bisa Jadi Dasar Hukum
Gugatan ini diajukan oleh satu individu (Sri Hartono) yang sebentar lagi pensiun. Meski menyuarakan aspirasi banyak guru, tetap saja, argumentasi berbasis kepentingan personal berisiko menyederhanakan kompleksitas sistem.
Mahkamah sebaiknya melihat ini bukan sekadar soal kesetaraan, tetapi juga keseimbangan kebijakan publik jangka panjang.
🔎 Akhir Dari Kritik:
Di negara yang guru-gurunya harus menggugat untuk terus bekerja, mungkin masalah kita bukan usia pensiun—tapi sistem yang lupa kapan harus memberi ruang bagi yang muda.