Sri Mulyani Siapkan Pajak 0,5% untuk Pelapak Shopee, Tokopedia & e-Commerce Mulai Juli 2025

pajak pedagang Shopee, marketplace kena pajak, shopee, tokopedia, kewajiban pajak
34 DILIHAR 5MENITs 0 KOMENTAR

Pada akhir Juni 2025, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengumumkan rencana pengenaan pajak digital sebesar 0,5% langsung dari omzet penjual yang beroperasi di platform e-commerce seperti Shopee, Tokopedia, Lazada, dan TikTok Shop. Usaha kecil dan menengah (UMKM) digital yang memiliki omzet tahunan antara Rp 500 juta hingga Rp 4,8 miliar akan terkena pemotongan pajak otomatis oleh marketplace. Ini bertujuan menyetarakan beban pajak antara toko offline dan pelapak online.

Kebijakan ini muncul sebagai respons terhadap penurunan penerimaan pajak nasional hingga 11,4% pada kuartal I–II 2025.

Mekanisme Pelaksanaan Pajak Digital

  1. Penarikan Otomatis oleh Platform
    Marketplace akan memotong pajak 0,5% dari omzet bersih penjual dengan omzet tahunan sesuai rentang target.
  2. Batasan Omzet
    Hanya pelapak dengan omzet antara Rp 500 juta hingga Rp 4,8 miliar per tahun yang dikenakan pajak.
  3. Sanksi Administratif
    Platform ommerce yang terlambat menyetor pajak akan dikenakan denda oleh Direktorat Jenderal Pajak.
  4. Pemberlakuan Juli 2025
    Pajak digital ini diperkirakan mulai diterapkan pada Juli 2025, memberikan waktu bagi platform dan penjual bersiap.

Dampak bagi Pelapak dan Platform

A. Bagi Pedagang UMKM

  • Pro: Lebih selaras dengan prinsip keadilan usaha—online maupun offline sama-sama membayar pajak.
  • Kontra: Penjual kecil mengeluh bahwa pajak 0,5%, ditambah biaya pemrosesan Rp 1.250 per transaksi di Shopee, akan menambah beban usaha.

B. Bagi Marketplace

  • Pro: Tunjukan tanggung jawab sosial dan dukung percepatan digitalisasi pajak.
  • Kontra: Ada potensi pelapak berpindah ke platform tanpa pajak, serta beban administratif lebih berat untuk memonitor dan menyetor pajak.

Kritik atas Strategi Pajak Digital

  1. Risiko Membebani UMKM Digital
    Pelapak dengan omzet di batas bawah akan menghadapi penurunan margin dan kemungkinan kenaikan harga jual.
  2. Kesiapan Sistem Pajak dan Data
    Sistem Ditjen Pajak harus cakap mengelola data transaksi digital yang cepat berubah dan besar volumenya.
  3. Ketidakjelasan Perhitungan dan Pelaporan
    Publik belum melihat simulasi dampak rinci bagi pedagang dan transparansi perhitungan pajak berdasarkan omzet.
  4. Ketergantungan pada Platform Asing
    Penarikan pajak dilakukan oleh marketplace seperti Shopee, sedangkan sistem setoran dan audit masih ditangani pemerintah—ini mengundang risiko ketergantungan.

Rekomendasi Kebijakan

  1. Buat Simulasi Dampak Secara Publik
    Rilis dampak pajak pada omzet pelapak skala kecil untuk perencanaan dan transparansi.
  2. Perluas Batas Penangguhan Awal
    Platform dapat menunda pemotongan pajak hingga omzet tertentu atau untuk transaksi percobaan (trial).
  3. Tingkatkan Kapasitas Ditjen Pajak
    Bangun sistem auto-rekonsiliasi data dengan e-commerce, dan audit elektronik secara berkala.
  4. Berikan Insentif Bagi UMKM Awal
    Beri keringanan atau tunjangan pajak bagi pelapak baru atau yang masih pemula untuk mendukung tumbuh-kembang mereka.

Pengenaan pajak 0,5% terhadap pelapak e-commerce adalah langkah berani menuju reformasi fiskal digital. Sri Mulyani membuka era baru pajak modern, namun perlu diimbangi dengan edukasi, transparansi, dan dukungan bagi pelapak kecil agar tidak tergerus oleh kebijakan fiskal yang berat.


Kritik terhadap Pajak UMKM Digital oleh Sri Mulyani

Infografis pro dan kontra pungutan pajak pedagang online oleh Sri Mulyani

1. Pajak Dibebankan Sebelum Ada Perlindungan

Kebijakan pajak seharusnya hadir setelah pelaku UMKM digital mendapatkan akses perlindungan dan insentif yang merata. Namun faktanya, banyak pedagang online masih berjuang melawan algoritma platform, biaya iklan tinggi, hingga monopoli pencarian.

Keadilan fiskal bukan sekadar menarik pungutan, tapi juga menjamin pelapak kecil tidak selalu jadi korban pertama reformasi.


2. Minim Edukasi, Tiba-Tiba Dipotong

Tak sedikit pelapak e-commerce, terutama yang baru memulai usaha, tidak memahami aturan perpajakan dengan benar. Sosialisasi nyaris tidak terdengar di tingkat penjual rumahan. Namun pemerintah langsung menagih dengan sistem potong otomatis.

Kalau pajak dipungut dulu baru dijelaskan belakangan, itu bukan reformasi—itu jebakan.


3. Sri Mulyani Dinilai Terlalu Pro-Konsolidasi Fiskal

Langkah ini dipandang lebih fokus menutup defisit APBN ketimbang mendukung pertumbuhan UMKM. Di tengah penurunan daya beli dan ketidakpastian ekonomi global, keputusan ini justru menambah tekanan terhadap pelapak.

Ketika negara butuh uang, pelapak kecil jadi target yang paling mudah dijangkau. Sementara perusahaan besar lintas negara justru bebas berakrobat pajak.


4. Rawan Pelarian dan Shadow Market

Karena beban makin besar dan sistem pemotongan tidak fleksibel, banyak pelapak bisa beralih ke platform informal atau menjual langsung lewat media sosial tanpa perantara, yang justru menyulitkan pengawasan negara.

Kalau pelapak kecil merasa lebih aman di luar sistem, artinya sistemnya gagal membina, bukan gagal menarik pajak.


🔎 Akhir dari Kritik:

Di saat negara-negara lain berlomba mengembangkan UMKM digital, kita malah sibuk memotong omzet mereka sebelum mereka berkembang.

Verified by MonsterInsights