Anggota Komisi X dari PDIP, termasuk Mercy Chriesty Barends, secara resmi menyerahkan dokumen hasil Temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) terkait kasus pemerkosaan massal Mei 1998 kepada Menteri Fadli Zon, sebagai bukti bahwa peristiwa tersebut memang terjadi.
Respons dan Klarifikasi Fadli Zon
- Fadli Zon menyatakan bahwa ia telah membaca data TGPF dan mengakui bahwa peristiwa pemerkosaan itu terjadi.
- Namun, ia mempertanyakan keakuratan dokumentasi, menyebut beberapa foto terkait bukan diambil di Indonesia, melainkan dari majalah atau situs luar negeri (Tempo, Far Eastern Economic Review).
- Fadli menekankan pentingnya dokumentasi yang ketat agar tidak menjurus ke “narasi adu domba” dan menimbulkan polarisasi.
Momen Emosional di DPR
- My Esti Wijayati (PDIP) terharu hingga menangis saat mengecam sikap Fadli Zon yang dianggap tidak peka terhadap korban, karena penjelasannya dianggap terlalu “teoritis” dan mengabaikan pengalaman nyata para perempuan korban di lapangan.
- Mercy Barends menegaskan bahwa meskipun data lengkap tidak dipublikasikan demi melindungi martabat korban, hal itu tidak boleh dijadikan alasan untuk menyangkal peristiwa tersebut.
Desakan untuk Permintaan Maaf
Mercy Barends mendesak Fadli Zon untuk secara resmi meminta maaf, mengingat penyikapannya yang meragukan validitas pemerkosaan massal tersebut dan dampak emosional terhadap korban.
Rapat ini menjadi titik krusial, di mana PDIP menyajikan bukti dokumen resmi di hadapan Fadli Zon. Sementara itu, Fadli Zon menyatakan pengakuan atas peristiwa tersebut, namun menyoroti perlunya verifikasi data yang lebih ketat. Seruan agar ia menyampaikan permintaan maaf atas keraguan yang sempat dipUtus menjadi sorotan utama rapat.
Kritik terhadap Sikap Fadli Zon dalam Menanggapi Dokumen TGPF

1. Penyikapan yang Reduktif terhadap Tragedi Kemanusiaan
Fadli Zon memang mengakui adanya pemerkosaan massal, namun terlalu fokus pada keaslian dokumentasi visual ketimbang memvalidasi substansi penderitaan korban. Pendekatan ini cenderung mereduksi tragedi menjadi debat teknis, bukan empati terhadap korban.
2. Kurangnya Sensitivitas terhadap Trauma Korban
Pernyataan bahwa sebagian foto berasal dari sumber luar negeri tanpa memastikan konteks lengkapnya bisa ditafsirkan sebagai usaha meragukan atau menurunkan kredibilitas pengakuan korban. Hal ini tidak hanya menyakiti keluarga korban, tapi juga membuka ruang baru bagi narasi penyangkalan.
3. Gagal Menunjukkan Kepemimpinan Moral
Sebagai Menteri Kebudayaan, Fadli Zon berada di posisi strategis untuk mendorong rekonsiliasi sejarah dan keadilan transisional. Namun, responsnya justru mengaburkan urgensi penyelesaian tragedi 1998 yang hingga kini belum tuntas secara hukum dan moral.
4. Kekeliruan dalam Memahami Etika Perlindungan Korban
Tuntutan publik atas dokumentasi “yang lebih kuat” justru mengabaikan alasan utama dokumen korban tidak dibuka secara vulgar: untuk menjaga privasi, martabat, dan keselamatan para korban, terutama karena banyak di antaranya masih mengalami trauma.
5. Potensi Politisasi dan Pelemahan Isu Gender
Ada kekhawatiran bahwa cara Fadli Zon merespons ini mengarah pada politisasi isu pemerkosaan massal, mengalihkan fokus dari penderitaan korban ke pusaran politik elit. Hal ini menciptakan preseden buruk dalam penyelesaian kasus kekerasan berbasis gender di Indonesia.
🔎 Akhir Dari Kritik:
Mungkin bagi sebagian orang, tragedi kemanusiaan baru dianggap nyata jika sudah ada watermark dan resolusi tinggi. Sayangnya, luka para korban tak pernah bisa diunduh dalam format JPEG.