Donald Trump lagi-lagi bikin geger, terutama buat Indonesia. Kali ini, bukan soal politik dalam negeri AS, tapi soal kebijakan perdagangan luar negeri. Ya, dia mau kasih tarif 32% buat semua produk Indonesia yang masuk ke Amerika Serikat. Dan, itu bakal mulai berlaku 1 Agustus 2025.
Kenapa? Katanya, hubungan dagang selama ini “merugikan Amerika”. Tapi di balik pernyataan itu, ada hal yang menarik.
Nggak Cuma Ancam, Tapi Juga Tawar Kesepakatan
Trump nggak asal ancam. Dia kasih syarat juga. Katanya, kalau Indonesia mau bangun pabrik langsung di AS entah itu untuk tekstil, makanan, elektronik, atau apa pun tarif itu bisa dibatalkan. Bahkan katanya, izin pendirian pabrik bisa kelar cuma dalam hitungan minggu. Gila cepet!
Sebagai gantinya, barang buatan pabrik Indonesia di Amerika bisa langsung masuk pasar mereka. Nggak ribet lagi urusan bea masuk, nggak ada perang dagang.
Kalau RI Ngelawan? Siap-Siap Dibalas Lebih Parah
Tapi Trump juga kasih peringatan. Kalau Indonesia berani balas dengan naikin tarif barang-barang dari AS, dia janji tarif balasan akan lebih tinggi dari 32%. Jadi, bisa jadi makin panas nih urusannya.
Kebijakan ini bukan cuma ke Indonesia aja, ya. Negara-negara lain juga kena. Thailand bahkan diancam tarif 36%. Malaysia, Jepang, Korea Selatan semua dapat bagian.
Respon dari Jakarta
Kabarnya, Menko Airlangga Hartarto langsung gerak cepat. Beliau dijadwalkan terbang ke Washington DC buat negosiasi. Tujuannya? Jelas: nyari celah supaya tarif ini nggak jadi kenyataan. Diplomasi all out, istilahnya.
Katanya, pemerintah lebih pilih cari jalan tengah daripada langsung ngotot. Wajar sih. Kalau tarif 32% beneran diterapkan, pelaku usaha dalam negeri bisa kena imbas besar.
Apa Dampaknya?
Coba bayangin: harga barang dari Indonesia di AS jadi jauh lebih mahal. Konsumen mereka jadi mikir dua kali buat beli produk kita. Industri tekstil, makanan olahan, bahkan kerajinan tangan bisa terdampak.
Tapi di sisi lain, ini juga bisa jadi kesempatan. Buat perusahaan Indonesia yang serius mau ekspansi, bikin pabrik di AS bisa jadi batu loncatan. Akses pasar lebih mudah, nama brand juga naik.
Trump main keras. Tapi dia juga buka pintu. Sekarang tinggal bagaimana Indonesia menyikapinya. Mau main tegas juga? Bisa. Tapi kalau bisa win-win, kenapa harus sengketa?
Kalau kamu pengusaha, saatnya mikir lebih luas. Mungkin bukan lagi soal ekspor barang, tapi ekspor investasi. Dunia udah berubah, cara dagang juga harus ikut berubah.
Kritik Terhadap Kebijakan Tarif 32% Trump untuk Indonesia

Kebijakan tarif 32 persen dari Donald Trump terhadap produk Indonesia pantas mendapat sorotan kritis. Di satu sisi, ini bisa dilihat sebagai strategi Trump untuk menggenjot industri domestik AS. Namun di sisi lain, pendekatan semacam ini juga menyiratkan bentuk domestikasi paksa investasi asing, yang jauh dari prinsip perdagangan bebas dan adil.
Menyaratkan Indonesia membangun pabrik di AS demi menghindari tarif seolah menunjukkan bahwa hubungan dagang hanya dianggap layak jika menguntungkan satu pihak. Diplomasi yang sehat mestinya dilandasi asas kesetaraan, bukan tekanan sepihak.
Langkah ini juga berpotensi melemahkan hubungan strategis jangka panjang antara kedua negara. Ketika dunia sedang bergerak menuju keterbukaan dan kolaborasi, pendekatan seperti ini justru memperuncing garis pemisah antara negara maju dan berkembang.
Indonesia perlu tetap tenang dan rasional, tetapi juga harus mampu menunjukkan bahwa kita bukan pihak yang bisa ditekan begitu saja. Diplomasi yang bermartabat bukan tunduk, bukan melawan membabi buta adalah pilihan terbaik.
Dunia tak butuh lebih banyak tembok dagang. Yang kita perlukan adalah lebih banyak jembatan saling pengertian.