Pemerintah Belum Mampu Gratiskan SD Swasta, Anggaran Kurang Rp183 Triliun

gratiskan SD swasta
85 DILIHAR 6MENITs 0 KOMENTAR

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan bahwa sekolah dasar dan menengah pertama swasta juga wajib digratiskan menjadi sorotan nasional. Namun, realisasi kebijakan ini tampaknya belum bisa dilaksanakan dalam waktu dekat. Pemerintah, melalui Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), mengakui bahwa anggaran negara belum mampu menutup kebutuhan dana yang sangat besar.

Berdasarkan kalkulasi awal pemerintah, biaya yang dibutuhkan untuk menggratiskan seluruh SD dan SMP swasta maupun negeri di Indonesia mencapai Rp183,4 triliun. Angka ini mencakup gaji guru, operasional sekolah, serta infrastruktur dasar lainnya.

Sayangnya, pagu indikatif Kemendikdasmen tahun 2026 hanya sebesar Rp33,65 triliun. Bahkan dengan usulan tambahan anggaran mencapai Rp71,11 triliun, total anggaran yang tersedia hanya berkisar Rp104,76 triliun, masih jauh di bawah kebutuhan total.

Pelaksanaan Bertahap: Prioritaskan Siswa dari Keluarga Miskin

Menanggapi kekurangan anggaran, pemerintah menyatakan bahwa implementasi kebijakan ini akan dilakukan secara bertahap. Fokus awal akan diberikan pada siswa dari keluarga miskin agar mereka tidak lagi dibebani biaya pendidikan dasar.

Artinya, dalam jangka pendek, sekolah swasta masih diperbolehkan memungut biaya dari siswa non-miskin, sambil menunggu alokasi anggaran penuh yang memungkinkan pelaksanaan menyeluruh sesuai amanat MK.

Putusan MK ini menafsirkan bahwa Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional harus menjamin pendidikan dasar gratis untuk seluruh warga negara, tanpa membedakan status sekolah negeri atau swasta.

Putusan ini berdampak besar pada ekosistem pendidikan swasta di Indonesia, terutama yang selama ini bertahan dengan sistem pembayaran iuran dari orang tua siswa.

Tantangan Implementasi di Daerah

Di berbagai daerah, terutama luar Jawa, banyak sekolah swasta yang justru mengisi kekosongan layanan pendidikan negeri. Bila kebijakan gratiskan SD swasta ini dipaksakan tanpa dukungan anggaran, dikhawatirkan sekolah-sekolah tersebut tidak mampu bertahan.

Pemerintah daerah pun diminta bersiap dengan pemetaan ulang anggaran pendidikan, serta memperkuat kerja sama dengan pihak swasta dan yayasan pendidikan.

Berbagai pengamat pendidikan menyambut baik putusan MK sebagai wujud keadilan pendidikan. Namun, mereka juga mewanti-wanti agar pemerintah tidak hanya menargetkan pemenuhan formal, tapi juga kualitas pembelajaran.

Kritik muncul karena minimnya kesiapan fiskal dan potensi kebingungan di lapangan. Banyak kepala sekolah swasta juga menunggu kejelasan regulasi turunan dan insentif dari pemerintah agar mereka tetap bisa beroperasi.

Langkah Pemerintah Berikutnya

Pemerintah saat ini sedang berdiskusi dengan DPR dan Bappenas untuk mencari sumber pembiayaan alternatif, termasuk kemungkinan penggunaan dana transfer daerah atau kerja sama publik-swasta (PPP) dalam pendidikan.

Selain itu, penyusunan roadmap dan regulasi teknis tengah dilakukan agar kebijakan ini bisa diimplementasikan dengan baik tanpa merusak ekosistem pendidikan yang sudah berjalan.

Kebijakan gratiskan SD swasta adalah lompatan besar untuk pemerataan pendidikan. Namun tanpa kesiapan anggaran yang memadai, implementasinya harus dilakukan dengan strategi bertahap dan realistis.

Ke depan, publik menunggu transparansi dari pemerintah dalam penggunaan anggaran pendidikan dan kejelasan soal kapan semua siswa benar-benar bisa mengenyam pendidikan dasar secara gratis, baik di sekolah negeri maupun swasta.

Gimana Seharusnya?

  • Bantu langsung siswanya, bukan sekolahnya. Pakai sistem voucher atau bantuan per anak miskin, bukan sekadar embel-embel “gratis” buat semua.
  • Sekolah swasta juga butuh napas. Beri insentif atau subsidi sesuai kemampuan sekolah, jangan samakan semua.
  • Libatkan yang paham lapangan. Ajak yayasan, guru, dan orang tua dalam bikin skema kebijakan. Jangan cuma rapat di gedung kementerian.
  • Fokus ke kualitas, bukan sekadar gratis. Jangan sampai anak-anak sekolah cuma numpang duduk karena fasilitasnya nggak keurus.

Kritik terhadap Kebijakan Gratiskan SD Swasta: Ideal Tapi Tidak Siap

Infografis Pro dan Kontra Kebijakan Sekolah Swasta Gratis di Indonesia
  1. Tidak Ada Perencanaan Pra-Putus
    • Pemerintah seharusnya sudah memproyeksikan implikasi fiskal dari wacana wajib pendidikan gratis sejak awal pembahasan. Fakta bahwa pemerintah kini mengaku “tidak punya uang” setelah putusan MK, menunjukkan minimnya antisipasi dan kesiapan kebijakan dari segi anggaran maupun skema implementasi.
  2. Keadilan Formal vs Keadilan Nyata
    • Memaksakan “kesetaraan” antara sekolah negeri dan swasta secara hukum tanpa membedakan konteks keberadaan dan sumber daya sekolah-sekolah tersebut justru dapat menciptakan ketidakadilan baru. Sekolah swasta yang selama ini mandiri dan membantu negara justru terancam kolaps karena tidak bisa lagi memungut biaya tanpa kompensasi layak.
  3. Beban Administratif dan Regulasi Tak Siap
    • Pemerintah belum menyiapkan kerangka regulasi pelaksana, sistem distribusi dana, hingga transparansi insentif bagi sekolah swasta. Ini berisiko menimbulkan kebingungan, bahkan potensi pelanggaran hukum oleh sekolah yang “terpaksa” tetap menarik iuran demi bertahan.
  4. Risiko Terhadap Mutu Pendidikan
    • Jika kebijakan ini dipaksakan tanpa dukungan anggaran memadai, banyak sekolah swasta yang selama ini menjaga kualitas justru harus mengurangi guru, fasilitas, atau layanan pembelajaran. Alhasil, pendidikan mungkin gratis, tapi dengan mutu yang menurun tajam.
  5. Ironi terhadap Prinsip Subsidi
    • Pemerintah mengatakan hanya akan membantu siswa dari keluarga miskin. Padahal selama ini subsidi pendidikan berjalan lewat Dana BOS untuk sekolah negeri, bukan langsung ke murid. Maka, pendekatan subsidi per siswa (voucher pendidikan) sebenarnya lebih logis dan adil, daripada menyeragamkan sistem gratis secara institusi.
  6. Efek Domino ke Sekolah Negeri
    • Ketika SD dan SMP swasta terancam bangkrut atau menolak siswa baru karena tidak ada biaya operasional, sekolah negeri otomatis akan menerima limpahan murid. Hal ini bisa menyebabkan ledakan jumlah siswa di sekolah negeri tanpa kesiapan fasilitas dan tenaga pengajar yang memadai.

🔎 Akhir dari Kritik

Pendidikan katanya prioritas, tapi dananya prioritas yang lain

Verified by MonsterInsights