Seorang guru SD di Makassar berinisial EB (33 tahun) menjadi korban pencurian di ruang guru SDN Borong pada 1 Agustus 2025. Barang-barang berharga seperti laptop, ponsel, dompet, STNK, dan ATM raib digondol maling. Keesokan harinya, EB mendatangi Polsek Manggala untuk membuat laporan kehilangan.
Namun, niat melapor justru berujung kekecewaan. EB mengaku dibentak oleh petugas polisi, Briptu Afrizal, saat mengisi formulir laporan. Suaminya yang mendampingi turut menyaksikan kejadian tersebut dan merekam sebagian percakapan sebagai dokumentasi.
Video dan Viral: Sorotan Publik Meluas
Rekaman interaksi antara EB dan Briptu Afrizal kemudian viral di media sosial. Dalam video tersebut, terlihat sikap kasar dan nada tinggi dari petugas kepolisian yang menangani kasus tersebut.
Warganet langsung bereaksi. Banyak yang menyesalkan sikap polisi yang seharusnya memberikan rasa aman dan pelayanan terbaik bagi masyarakat, apalagi kepada korban kejahatan.
Propam Polrestabes Makassar Bertindak Cepat
Menanggapi laporan viral tersebut, Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam) Polrestabes Makassar langsung memanggil Briptu Afrizal untuk menjalani pemeriksaan internal. Pemeriksaan ini dilakukan sebagai bentuk tindak lanjut terhadap pelanggaran etika pelayanan publik.
Menurut pihak kepolisian, tindakan Briptu Afrizal tidak mencerminkan sikap profesional aparat dalam menerima laporan dari masyarakat. Ia pun diminta mengajukan permintaan maaf secara resmi kepada korban.
Permintaan Maaf Terbuka dari Briptu Afrizal
Dalam sebuah pernyataan yang direkam dan disebarkan oleh Humas Polrestabes Makassar, Briptu Afrizal menyampaikan permintaan maaf kepada EB dan masyarakat luas atas sikapnya yang tidak pantas. Ia mengakui bahwa dirinya terbawa emosi dan tidak mampu mengendalikan nada suara saat menerima laporan.
“Saya mohon maaf atas perilaku saya yang tidak patut. Saya menyesal dan siap menerima konsekuensi dari tindakan saya,” ujar Afrizal dalam video yang dipublikasikan secara terbuka.
Sorotan Etika Pelayanan Publik Kepolisian
Kasus ini menyoroti kembali pentingnya etika dalam pelayanan publik, terutama bagi aparat penegak hukum. Seharusnya, masyarakat yang menjadi korban kejahatan mendapatkan dukungan psikologis dan perlakuan empatik, bukan tekanan tambahan.
Dalam banyak kesempatan, kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian sangat bergantung pada bagaimana laporan dan keluhan mereka ditangani. Pelayanan yang buruk tidak hanya mencederai perasaan korban, tetapi juga merusak citra institusi secara menyeluruh.
Tanggapan LSM dan Pemerhati Hukum
Sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang keadilan sosial turut mengomentari kasus ini. Mereka meminta agar kejadian ini tidak dianggap sebagai insiden tunggal, melainkan menjadi pemicu perbaikan sistemik di internal kepolisian.
Menurut pengamat hukum, reformasi pelayanan publik di sektor kepolisian harus menyasar pelatihan ulang tentang komunikasi efektif, etika pelayanan, dan respons terhadap korban kejahatan.
Momentum untuk Reformasi
Insiden yang menimpa guru SD di Makassar ini adalah alarm penting bagi institusi kepolisian untuk memperbaiki cara kerja mereka dalam melayani masyarakat. Tindakan cepat dari Propam layak diapresiasi, namun yang lebih penting adalah transformasi menyeluruh agar peristiwa serupa tidak terulang.
Kritik Terhadap Kasus Guru SD Dibentak Polisi: Cerminan Masalah Sistemik

1. Cacat dalam Etika Pelayanan Publik
Tindakan membentak korban yang sedang melapor menunjukkan minimnya empati dan etika profesional dalam tubuh kepolisian. Laporan polisi bukan hanya soal dokumen administratif, tetapi juga bentuk permintaan tolong dari warga yang sedang berada dalam kondisi emosional yang rentan. Seorang guru, yang notabene adalah pendidik bangsa, diperlakukan dengan cara yang mencederai martabatnya. Hal ini sangat tidak dapat dibenarkan.
2. Indikasi Buruknya Pelatihan Sumber Daya Manusia (SDM)
Sikap arogan aparat menunjukkan bahwa pelatihan mengenai komunikasi yang humanis dan responsif terhadap korban belum merata di tubuh institusi kepolisian. Padahal, kompetensi teknis harus dibarengi dengan kemampuan interpersonal. Jika masih banyak anggota yang gagal mengelola emosi dan menyalahgunakan wewenang secara verbal, maka reformasi SDM harus menjadi prioritas.
3. Masalah Kultural: Polisi sebagai Penguasa, Bukan Pelayan
Kasus ini memperlihatkan pola relasi kekuasaan lama yang belum usang: polisi masih melihat dirinya sebagai “penguasa”, bukan pelayan masyarakat. Sikap membentak dan merendahkan warga sipil adalah manifestasi dari budaya institusional yang tidak berubah, meskipun citra polisi sebagai sahabat rakyat terus digaungkan.
4. Respons Institusional Kurang Transparan
Walaupun Propam bertindak cepat, tidak ada transparansi sanksi apa yang diterima oleh pelaku. Publik hanya disuguhi permintaan maaf yang direkam dan disebar, namun tanpa jaminan ada perubahan nyata. Tanpa kejelasan proses internal, publik akan melihat penanganan kasus ini hanya sebagai “damage control” sesaat.
5. Tidak Adanya Saluran Pengaduan Independen
Satu hal yang sangat mengkhawatirkan adalah ketergantungan mutlak pada Propam, yang merupakan bagian dari institusi yang sama. Seharusnya masyarakat bisa mengakses lembaga pengaduan eksternal yang independen untuk menyalurkan keluhannya, agar tidak terjadi konflik kepentingan dan potensi penyalahgunaan wewenang dapat dicegah lebih dini.
Kasus ini bukan sekadar insiden personal antara Briptu Afrizal dan korban, tetapi refleksi dari krisis budaya pelayanan dalam institusi kepolisian Indonesia. Jika tidak ditanggapi secara struktural dan sistemik, kepercayaan publik akan terus terkikis dan itu jauh lebih berbahaya dibanding satu video viral.
🔎 Akhir Dari Kritik:
Entah siapa yang perlu dilaporkan: pencuri atau yang teriak?