Isu gaji DPR Rp100 juta kembali ramai dibahas dan memicu pro–kontra di media sosial. Di tengah derasnya opini, penting untuk memisahkan mana gaji pokok, mana tunjangan, dan mana kompensasi yang bersifat sementara/khusus. Artikel ini merangkum penjelasan resmi serta memberi konteks agar publik mendapat gambaran yang lebih utuh dan tidak terjebak pada angka sensasional.
Latar Belakang Isu
Pangkal persoalan berawal dari klaim bahwa gaji anggota DPR naik menjadi Rp100 juta per bulan. Klaim tersebut cepat menyebar, lalu dipahami seolah-olah “gaji pokok” mengalami kenaikan besar. Padahal, pemberitaan dan penjelasan resmi menegaskan bahwa angka yang beredar kerap merupakan akumulasi berbagai komponen penerimaan, bukan gaji pokok semata.
Apa Kata DPR?
Sekretaris Jenderal DPR, Indra Iskandar, membantah adanya kenaikan gaji pokok menjadi Rp100 juta per bulan. Penegasan ini muncul pada 18 Agustus 2025 dan menitikberatkan bahwa yang sering disalahpahami publik adalah pencampuran antara gaji dan tunjangan (serta komponen lain yang melekat pada jabatan).
Sehari berselang, Puan Maharani juga menegaskan tidak ada kenaikan gaji. Ia menjelaskan konteks kompensasi perumahan—yang jadi salah satu sumber salah paham karena dihitung sebagai bagian dari “gaji”, padahal secara terminologi bukan gaji pokok.
Intinya, gaji pokok tidak naik. Isu “Rp100 juta” muncul karena penjumlahan komponen penerimaan yang lebih luas dari sekadar gaji.
Bedakan Istilah: Gaji Pokok, Tunjangan, Kompensasi, Take-Home Pay
Agar tidak rancu, berikut pembedaan istilah yang paling sering tertukar:
- Gaji pokok: Upah dasar yang melekat pada jabatan anggota DPR. Ini yang diklaim “naik jadi Rp100 juta”—dan sudah dibantah.
- Tunjangan: Hak keuangan selain gaji pokok, misalnya penunjang tugas, transportasi, komunikasi, dan lain-lain sesuai aturan yang berlaku. Besar kecilnya bisa berubah mengikuti regulasi, evaluasi, atau penyesuaian biaya hidup.
- Kompensasi perumahan: Pengganti fasilitas rumah dinas (jika rumah jabatan dikembalikan/ tidak digunakan). Ini bukan gaji pokok, melainkan komponen terpisah.
- Take-home pay: Total penerimaan yang dibawa pulang setelah memperhitungkan seluruh komponen yang sah. Nilainya bisa lebih tinggi dari gaji pokok karena menjumlahkan tunjangan dan kompensasi yang relevan.
Dengan pembedaan ini, kita bisa melihat mengapa angka Rp100 juta muncul di ruang publik: angka tersebut merefleksikan total penerimaan tertentu, bukan gaji pokok.
Mengapa Angka Rp100 Juta Mudah Viral?
- Judul sensasional: Angka bulat dan besar lebih menarik klik.
- Campur-baur istilah: Banyak yang menyebut semua penerimaan sebagai “gaji”, padahal komposisinya beragam.
- Konteks yang terpotong: Penjelasan resmi sering membedakan gaji dan kompensasi; ketika konteks dipotong, publik mudah menyimpulkan “naik gaji”.
Kenapa Transparansi Penting?
Transparansi itemisasi (per komponen) akan:
- Memudahkan publik memahami struktur hak keuangan pejabat.
- Mencegah disinformasi yang memukul rata semua penerimaan sebagai gaji.
- Menjadi rujukan media agar tidak misleading saat mengutip atau membuat infografis.
Praktiknya, lembaga dapat secara berkala memublikasikan rincian komponen (jenis, dasar hukum, periode berlaku) dalam satu tabel yang mudah dibaca. Dengan begitu, verifikasi fakta oleh publik dan jurnalis menjadi jauh lebih mudah.
Batasan & Dasar Hukum (Ringkas)
Besaran dan jenis hak keuangan anggota DPR diatur oleh peraturan perundang-undangan serta kebijakan internal yang berlaku. Setiap penyesuaian biasanya memiliki dasar hukum dan mekanisme tersendiri, termasuk evaluasi dan persetujuan sesuai ketentuan. Karena itu, menyebut “kenaikan gaji” harus merujuk pada keputusan resmi—bukan sekadar penjumlahan komponen yang sifatnya tunjangan atau kompensasi.
Apa Implikasi bagi Publik?
- Debat publik sebaiknya fokus pada akuntabilitas dan transparansi alih-alih hanya mengejar angka headline.
- Media dan kreator konten perlu konsisten membedakan istilah dan menyertakan sumber resmi agar pembaca tidak tersesat oleh framing semata.
- Pembuat kebijakan diharapkan proaktif menjelaskan perubahan (jika ada) berikut rasional dan dampak anggarannya.
Kritik atas Kebijakan Kompensasi & Struktur Tunjangan DPR

1) Masalah utama: kabur antara “gaji” vs “tunjangan”
Kebijakan yang menonjolkan tunjangan/kompensasi tanpa pemisahan tegas dari gaji pokok menciptakan kekacauan istilah. Akibatnya, publik mudah menyimpulkan “naik gaji” padahal yang berubah bisa jadi komponen lain. Ini membebani kepercayaan publik karena transparansi tidak optimal.
Rekomendasi: Satukan terminologi dengan struktur remunerasi tunggal (single salary) yang memuat semua komponen dalam satu angka bruto—lalu uraikan rinciannya secara publik.
2) Transparansi fiskal masih lemah
Tidak ada dashboard rinci, mudah dibaca, dan rutin diperbarui tentang item-item penerimaan per anggota: gaji pokok, tunjangan, kompensasi perumahan, serta dasar hukumnya. Minimnya itemisasi resmi membuat jurnalisme data dan audit sosial sulit dilakukan.
Rekomendasi: Terbitkan daftar komponen & dasar hukum (PDF/HTML) per bulan/semester, gunakan terminologi konsisten, dan cantumkan nilai kotor–netto berikut implikasi pajak.
3) Desain tunjangan perumahan rawan salah sasaran
Kompensasi berbentuk flat allowance (nilai tetap) berisiko tidak mencerminkan biaya aktual per kota (Jakarta vs daerah pemilihan), menimbulkan moral hazard, dan sulit diverifikasi.
Rekomendasi: Ganti menjadi reimbursement berbasis bukti (sewa/kontrak sah), tetapkan plafon sesuai indeks biaya hidup dan zona wilayah, serta lakukan audit berkala.
4) Tidak ada pengaitan yang kuat dengan kinerja
Komponen penerimaan cenderung tidak variabel terhadap kehadiran, produktivitas legislasi, fungsi pengawasan, dan reses konstituen. Publik mempertanyakan nilai-demi-uang (value for money).
Rekomendasi: Terapkan porsi variabel berbasis KPI terukur (kehadiran rapat, RUU/AMDAL regulasi yang disahkan, laporan pengawasan, kualitas serap aspirasi). Publikasikan skor kinerja per anggota.
5) Sensitivitas fiskal & rasa keadilan sosial
Penyesuaian tunjangan saat tekanan ekonomi (inflasi, defisit, harga kebutuhan pokok) bisa memunculkan ketimpangan persepsi keadilan antara pejabat negara dan masyarakat.
Rekomendasi: Adopsi mekanisme indeksasi yang jelas (mis. CPI/Biaya Hidup) dengan batas atas (cap) dan penundaan otomatis saat indikator fiskal memburuk (defisit melebar, penerimaan pajak turun). Pertimbangkan “solidarity cut” sementara saat masa sulit.
6) Proses kebijakan kurang partisipatif
Jika perubahan tidak didahului konsultasi publik dan naskah akademik yang mudah diakses, maka legitimasi kebijakan melemah dan rentan disinformasi.
Rekomendasi: Bentuk Komisi Remunerasi Independen (akademisi, auditor, serikat profesi, masyarakat sipil) untuk mengkaji, merekomendasikan, dan menguji publik sebelum kebijakan ketok palu.
7) Komunikasi kebijakan reaktif, bukan proaktif
Bantahan setelah isu viral menunjukkan krisis komunikasi—bukan manajemen persepsi yang direncanakan. Publik butuh narasi data-pertama (data-first), bukan klarifikasi ad hoc.
Rekomendasi: Siapkan FAQ resmi, infografik “Gaji vs Tunjangan vs Kompensasi”, dan Q&A rutin. Pastikan pejabat/sekretariat menyampaikan angka, dasar hukum, dan alasan dalam satu materi terpadu.
🔎 Akhir dari Kritik:
Transparansi ada—sayangnya kaca jendelanya buram