Keputusan negara-negara G7 untuk mendukung pengecualian pajak minimum global terhadap korporasi asal Amerika Serikat memicu kekhawatiran bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Langkah ini berpotensi melemahkan upaya pemerintah Indonesia dalam memajaki raksasa digital seperti Google, Meta, dan Amazon yang selama ini memanfaatkan celah perpajakan lintas yurisdiksi.
G7 Dukung Skema “Side-by-Side”
Pada akhir Juni 2025, G7 sepakat mendukung proposal Amerika Serikat untuk mengadopsi pendekatan side-by-side dalam implementasi Pilar 2 dari kerangka pajak global OECD/G20. Pendekatan ini memungkinkan perusahaan-perusahaan AS untuk dikecualikan dari skema Income Inclusion Rule (IIR) dan Undertaxed Profits Rule (UTPR), selama mereka tunduk pada aturan domestik seperti GILTI (Global Intangible Low-Taxed Income) dan Qualified Domestic Minimum Top-up Tax.
Langkah ini dianggap sebagai kompromi antara menghormati sistem pajak domestik AS dan mempertahankan prinsip global mengenai minimum effective tax rate sebesar 15%.
Indonesia Berpotensi Dirugikan
Indonesia sendiri telah menerapkan aturan pajak minimum global melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 136/2024. Mekanisme yang digunakan mencakup:
- Domestic Minimum Top-up Tax (DMTT) mulai 1 Januari 2025
- Income Inclusion Rule (IIR) mulai 1 Januari 2025
- Undertaxed Profits Rule (UTPR) mulai 1 Januari 2026
Dengan adanya pengecualian untuk korporasi digital asal AS, Indonesia kemungkinan besar tidak dapat menerapkan UTPR terhadap perusahaan-perusahaan seperti Google, Amazon, Microsoft, dan lainnya. Ini artinya, meskipun profit mereka tinggi dan aktivitas mereka nyata di Indonesia, negara tidak bisa memungut pajak tambahan bila AS mengklaim mereka sudah tunduk pada pajak domestik GILTI.
“Gagal Pajaki Google cs”?
Istilah ini menjadi sorotan karena Indonesia berisiko kehilangan potensi penerimaan negara dari sektor digital. Padahal, dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah telah melakukan reformasi untuk memastikan entitas digital asing tidak lolos dari kewajiban pajak. Sayangnya, jika pengecualian dari G7 diterima oleh forum Inclusive Framework OECD/G20, kekuatan regulasi nasional akan terbatas.
Namun demikian, menurut Fajry Akbar dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), implementasi aturan di Indonesia masih berjalan seperti biasa. Hingga saat ini, belum ada keputusan resmi yang mewajibkan Indonesia untuk menyesuaikan peraturan pajaknya berdasarkan kebijakan G7.
Risiko Dominasi Negara Maju
Kritik pun mengemuka bahwa keputusan G7 menunjukkan dominasi negara-negara maju dalam forum internasional yang semestinya setara. Negara berkembang seperti Indonesia kembali diposisikan sebagai penerima dampak, bukan pembuat keputusan.
Langkah G7 ini juga bisa menjadi preseden buruk yang melemahkan semangat keadilan dalam sistem pajak global. Bila korporasi raksasa terus mendapat perlindungan negara asalnya, maka kesenjangan penerimaan pajak antara negara maju dan berkembang akan makin lebar.
- G7 mendukung pengecualian pajak global untuk korporasi AS melalui pendekatan side-by-side.
- Indonesia berisiko kehilangan potensi pajak dari perusahaan digital besar seperti Google dan Meta.
- Regulasi domestik Indonesia masih berlaku, namun tekanan untuk menyesuaikan bisa datang bila OECD menerima usulan ini secara formal.
Kritik terhadap Pengecualian Pajak Minimum Global oleh G7

1. Melemahkan Tujuan Pilar 2 OECD/G20
Pilar 2 bertujuan memastikan perusahaan multinasional membayar pajak efektif minimum 15%, di mana pun mereka beroperasi. Dengan mendukung pengecualian bagi korporasi AS melalui sistem “side-by-side”, G7 secara tidak langsung mengkompromikan integritas aturan global yang selama ini diperjuangkan untuk melawan praktik penghindaran pajak (BEPS). Ini menciptakan celah baru dalam sistem yang semestinya tertutup rapat.
2. Mengabadikan Ketimpangan Global
Langkah ini mempertegas ketimpangan antara negara maju dan berkembang. Negara seperti Indonesia menjadi penerima dampak, bukan pembuat kebijakan. Ketika negara maju melindungi kepentingan korporasi mereka, negara berkembang kehilangan peluang untuk meningkatkan penerimaan pajak secara adil dari ekonomi digital global.
3. Membahayakan Kedaulatan Fiskal Indonesia
Meski saat ini Indonesia masih mempertahankan aturan pajaknya, tekanan internasional untuk menyesuaikan bisa datang sewaktu-waktu. Bila Inclusive Framework OECD/G20 menyetujui pengecualian ini, maka Indonesia dipaksa tunduk pada arsitektur global yang tidak ia desain sendiri. Ini menjadi ancaman terhadap kedaulatan fiskal nasional.
4. Menggagalkan Upaya Pajak Digital yang Telah Diperjuangkan
Sejak 2020, Indonesia telah menyiapkan infrastruktur regulasi untuk memajaki ekonomi digital, termasuk Google, Facebook, dan Netflix. Pengecualian semacam ini berisiko menghapus seluruh hasil kerja keras tersebut, dan mengirimkan pesan bahwa lobi politik lebih berkuasa daripada prinsip keadilan fiskal.
5. Tidak Transparan dan Minim Keterlibatan Negara Berkembang
Proses pembuatan keputusan di G7 sangat tertutup dan minim partisipasi dari negara-negara di Global South. Padahal, mereka adalah pihak yang paling terdampak. Ini mencerminkan defisit legitimasi demokratis dalam pengambilan keputusan ekonomi global.
🔎 Akhir Dari Kritik:
Katanya sistem pajak global adil dan inklusif. Tapi kenapa Google bisa tersenyum, sementara Indonesia cuma bisa hitung potensi pajak yang hilang?